Kulatresna. Kula artinya saya.
Tresna artinya cinta.
Yogyakarta siang itu terik, namun
lenggang. Kasongan sedang tidak ramai pembeli, karena hari itu hari kerja dan
bukan juga musim liburan. Kenangan saya tentang Kasongan masih berupa daerah
yang penuh dengan kerajinan gerabah, seperti ketika saya kesana belasan tahun
lalu. Namun kini komoditas Kasongan mulai bervariasi. Toko-toko perabot baik
yang bergaya etnik maupun modern berjajar cantik di pinggir jalan. Kualitas
ekspor, sering ikut pameran, mereka bilang. Aksesoris rumah seperti macramé, kap lampu dan berbagai pot
anyaman pun dijajakan dengan cantik di balik kaca kios. Tidak kalah dengan yang
dijual di Seminyak. Bagi pecinta dekorasi rumah seperti saya, Kasongan ini secret paradise.
“Mas, nanti pulangnya mampir ya,”
ujar saya antusias, seraya mobil kami melewati jalanan tersebut, menuju Desa
Wisata Krebet. Kami baru menikah dua minggu, dan ini hari pertama bulan madu
kami. Tadinya tentu saja kami berpikir ke Bali, seperti kebanyakan pasangan
kelas menengah sebaya kami lainnya. Namun ternyata ada dua acara keluarga
berjarak seminggu di Yogyakarta, kota kelahiran suami. Akhirnya kami memutuskan
untuk berbulan madu sekalian disana. Lebih hemat juga, karena tidak perlu naik
pesawat.
Sejak pertama kali melihat foto Kulatresna
lewat Airbnb, saya langsung gelisah. Gelisah ingin segera booking tanggal karena takut penuh di hari yang kami inginkan. Vilanya
hanya satu, terlalu cantik dan rimbun. Menurut saya rate permalamnya cukup reasonable
untuk vila sebesar dan seindah itu. Sebagai perbandingan, kalau di Jakarta
harga tersebut baru dapat suite hotel kelas menengah dengan sarapan nasi goreng
hambar. Untungnya, kami berhasil menghubungi pemilik vila dan mendapatkan
tanggal sesuai harapan. Dari awal mengontak pemilik vila, Mas Tiko demikian
beliau disapa, sudah terlihat bahwa ia sangat memperhatikan kemudahan calon
tamunya. Mas Tiko menanyakan apakah mau menambah makan malam, atau apakah kami
perlu kendaraan. Berhubung kami membawa mobil sendiri dari Tangerang, dan
kebetulan suami saya adalah warga asli Yogya, jadi kami bilang kami bisa kesana
sendiri.
Desa Wisata Krebet, siang itu
sunyi, namun hijau menyegarkan batin. Suasana desa yang menghanyutkan, yang
membuat warga ibukota berangan untuk menghabiskan hari pensiun disini. Dari
balik kesunyian, bertemulah kami dengan dinding bebatuan yang berdiri di
pinggir jalan, berdampingan dengan pepohonan. Tidak ada papan nama yang
mencolok, hanya dinding batu dan jalan yang sepi.
Kami disambut langsung oleh Mas
Tiko. Pemilik, penggagas, dan beliau juga sering stand by di rumah belakang vila. Mas Tiko dibantu beberapa pekerja
untuk mengurus vila Kulatresna, namun tidak jarang Mas Tiko sendiri yang
memasak makanan yang disajikan untuk tamunya. Kamipun di bukakan pintu kamar.
Sebuah tempat tidur putih berkelambu
diletakan tepat di tengah ruangan, dikelilingi empat kolom saka guru, langsung
menghadap kepada akses visual kearah kebun di belakang. Pemandangan pepohonan memanjakan jiwa terhampar di arah jam dua belas tempat tidur. MasyaAllah. Setengah
tidak percaya pada pandangan sendiri, ada tempat secantik ini di tengah Bantul.
Di samping kiri tempat tidur ada meja makan kayu, di sebelah kanan ada sofa
daybed berbentuk bundar. Nuansa ruangan
ini putih dengan sedikit sentuhan biru, dua warna yang sarat dengan ketenangan.
Kamar mandinya membuat jatuh
cinta. Menurut saya, desain kamar mandi ini kreatif dan jenius. Pancuran airnya bersandar
pada sebuah pohon di tengah ruangan. Bayangkan, ada pohon di tengah kamar
mandi. Bagian ruang bathtub tidak
beratap, hanya teduh oleh dedaunan yang menjalar, dikelilingi dinding bebatuan.
Sudahlah, keindahan ruangan ini tidak bisa diwakilkan oleh aksara. Terlalu
indah, saya bagi saja fotonya.
Makan malam kami hari itu adalah
olahan tangan Mas Tiko sendiri. Di vila ini Mas Tiko hanya menyajikan sajian
vegan, bahkan seringkali diolah tanpa harus dimasak, atau bahasa populernya, raw food. Mas Tiko seorang lulusan
sekolah kuliner di Singapura, dan aslinya dari Jakarta Selatan. Bahan panganan lokal
di tangannya bisa menjadi sajian kreatif pemanja indera perasa.
Menu kami malam itu burger vegan,
kalau tidak salah isinya terbuat dari kacang hitam dipadu dengan biji-bijian
lainnya. Rasanya tidak kalah dengan wagyu burger. Nikmat tanpa diakhiri rasa
bersalah telah menambah asupan lemak hewani. Untuk pencuci mulut, Mas Tiko
membuatkan kami raw vegan brownies.
Terbuat dari coklat, minyak kelapa dan kacang mede. Pekat, harum aroma kelapa, tidak
terlalu manis dan tentu saja lezat. Kalau untuk saya rasanya seperti gabungan chocolate ganache dan wingko babat. Untungnya
Mas Tiko membuatkan kami satu mangkuk besar jadi kami punya sisa untuk cemilan
bersantai besok.
Menikmati pagi di Kulatresna
rasanya tidak ingin kemana-mana. Hanya ingin merebahkan diri di teras belakang
villa, membaca dan memandangi kebun. Tidak ada batasan antara vila dan kebun,
petani bisa lewat langsung depan teras vila, menyapa langsung kepada kita.
Posisi vila ini lebih tinggi daripada kebun, sehingga cakupan visual kepada
lingkungan sekitar lebih luas.
Walaupun terlalu nyaman di kamar,
saya dan suami berniat mengunjungi curug yang ada di dekat vila. Curug Pulosari
namanya. Berbekal kamera, handuk dan sandal jepit, kami pun berjalan kaki.
Tidak ada mobil lewat, motor pun jarang. Hanya sesekali ada warga sekitar yang
juga berjalan kaki. Coba saja disapa, nanti dapat hadiah senyum hangat khas
penduduk Yogyakarta. Sepi, damai. Namun, saya pikir perjalanan singkat ini bisa
bergandengan romantis, melewati desa dan berbincang ringan. Ternyata medannya cukup
menantang. Menaiki dan menuruni medan berupa batu licin dan tanah basah.
Walaupun begitu, total perjalanan hanya makan lima belas menit. And it was all worth it.
Seindah ini, hanya ada kami
berdua. Biru. Hanya saja tidak ada diantara kami yang berani berenang karena tidak
tahu kedalaman airnya. Hanya bermain di air dangkal dan duduk-duduk di atas
bebatuan, mendengarkan suara air terjun. Menurut kami itu cukup untuk pagi yang
ringan.
Sepulang dari vila, kami
memutuskan untuk bersantai sampai siang. Hanya bersantai, tidak usah memikirkan
pekerjaan kantor yang ditinggal, menikmati hidup saja. Mas Tiko membawakan kami
sarapan. Kwetiauw lezat, dengan kerupuk buah naga. Jangan bayangkan kerupuk ini
manis seperti buahnya, rasanya seperti kerupuk goreng lainnya, hanya saja warnanya
sedikit ungu. Karena suka, sisa kerupuk yang belum digoreng saya beli untuk
dibawa pulang.
Sembari menemani kami sarapan, Mas Tiko banyak bercerita. Mas
Tiko membuat vila ini bertujuan untuk menyokong keberlanjutan kebun di
sekeliling Kulatresna, supaya tetap bisa menghasilkan bahan pangan dan
memperkaryakan para petani yang merupakan warga asli sekitar. Luas tanahnya
sekitar 916 M2 dan ditanami puluhan spesies tanaman seperti kacang
tanah, kelor, kacang hijau, wijen dan singkong. Jadi vila cantik ini dibangun dengan
berlandaskan tujuan sosial. Semakin kagum rasanya.
Setahun berlalu semenjak kami merasakan
singgah di Kulatresna. Saya tetap mengikuti perkembangan Kulatresna dan
perjalanan Mas Tiko dan timnya lewat Instagram. Kalau tidak salah mereka sedang
membangun service quarter bergaya British colonial berpadu dengan
arsitektur Jawa, yang materialnya diambil dari material-material bekas atau
sisa.
Saya dan suami berjanji, suatu
hari akan kembali lagi.