Jumat, 01 April 2016

Desa Wae Rebo : A Remote Paradise



" Pingin liburan nih tapi lagi bokek. "

Saya masih ingat kira-kira begitu pembicaraan saya dengan seorang teman kantor pada suatu malam. Siapa sangka, tepat keesokan paginya, kami mendapat kabar akan ditugaskan ke Waerebo, Flores pada saat perayaan kemerdekaan. Doa kami dijawab secepat itu. Excited bukan main, akan dikirim ke sebuah desa adat yang merupakan rising star di dunia pariwisata Indonesia, apalagi tepat pada saat perayaan kemerdekaan RI. Tidak semua orang berkesempatan berkunjung kesana bertepatan dengan hari besar rakyat Indonesia yang dirayakan seantero nusantara tersebut. 


Bukan sekali-dua kali kantor kami mengadakan kunjungan ke Waerebo. Desa tersebut merupakan desa asuhan salah satu divisi kantor kami, yaitu Yayasan Rumah Asuh. Didirikan oleh arsitek kondang Yori Antar yang notabene adalah bos saya saat itu. Beliau, yang memiliki minat besar akan pelestarian desa adat Indonesia, menemukan Waerebo dalam keadaan yang kurang sejahtera. Rumah-rumah adat yang rusak dan keadaan ekonomi yang tidak menentu adalah gambaran kondisi Waerebo saat itu. Dari situ, oleh Yayasan Rumah Asuh, rumah-rumah adat diperbaiki dan dibangun ulang, dan penduduk-penduduk diberi dukungan dan dorongan untuk meningkatkan pemasaran produksi lokal seperti kopi, madu dan kain tenun. Oleh karena itu, Waerebo kini menjelma menjadi salah satu primadona pariwisata adat di Indonesia yang terkenal dengan atap-atap Mbaru Niang tersebut. Begitulah catatan singkat tentang relasi kantor saya dengan Waerebo. 

Setelah kira-kira lima bulan persiapan, menjadi travel agent dadakan untuk rombongan 45 orang, kami berangkat pada tanggal 14 Agustus 2015, dengan Garuda Indonesia. Senang rasanya bisa berkenalan dengan banyak orang baru dari berbagai bidang, tidak hanya dari arsitektur. Kami mendarat dengan landing yang agak dramatis di Bandara Komodo, Labuan Bajo,  sore harinya. Saya kagum melihat pemandangan saat menjelang landing yang berupa jajaran bukit-bukit coklat kehijauan yang menyambut pendaratan kami. Dari bandara, kami pun menuju ke Dintor, yang merupakan penginapan untuk beristirahat malam harinya, sebelum berangkat naik ke Waerebo keesokan paginya.


Perjalanan Labuan Bajo ke Dintor memakan perjalanan sekitar 4-5 jam. Agak lama, tapi tantangan sebenarnya adalah bentuk rute yang cenderung berliku-liku dan perjlanan di dominasi menerobos pepohonan. Belum satu jam perjalanan, saya sudah mabuk darat, maklum, memang bakat dari kecil. Worst nausea ever, the one that feels like about to explode. 

Pada saat kami tiba di Dintor, hari sudah malam. Yang saya pikirkan hanyalah shalat, mandi dan tidur karena sudah lelah sekali. Di daerah ini sudah tidak tersedia sinyal seluler. Baru ketika paginya saya bangun, saya baru sadar depan kamar pemandangannya sawah kehijauan yang indah sekali. Belum selesai, di belakang kamar ternyata laut ! Lengkap dengan lekukan bukit-bukit khas Flores.

Ini pemandangan depan kamar. 



Ini pemandangan belakang kamar :D
Setelah sarapan yang sangat nikmat yang disiapkan pengelola Dintor (memang ngga ada yang mengalahkan pagi-pagi sarapan di desa) , kami pun berangkat ke Denge, yaitu merupakan tempat awal pendakian. Sumpah, saya pikir medannya mudah ditaklukkan, saya pikir saya bisa hiking cantik a la  presenter National Geographic yang kece sepanjang acara. Lupakan itu hiking cantik. Tidak terjal dan ekstrim sebenarnya, tapi otot kaki saya tidak diciptakan tahan banting untuk tanjakan. Terutama betis belakang yang cepet terasa burned ketika bertemu medan yang mendaki. Namun melihat para peserta-peserta yang lebih tua tetap kuat, ya saya jaim dong. Walaupun tergopoh-gopoh, saya tetap berusaha terlihat cool dan berhasil menuju pos terakhir.

Pos 2 atau Pocoroko. Satu-satunya daerah dengan sedikit sinyal seluler. Saya kaget waktu sampai sini kenapa tiba-tiba ada message masuk...

Pak Casper porter saya yang baik hati


Begitu kami sampai, kami harus berkumpul dulu di pos tamu dan menunggu semuanya berkumpul, baru setelah itu kami masuk ke rumah adat utama dimana disitu diadakan upacara penyambutan. Setelah itu, kami melanjutkan sisa hari dengan makan malam bersama, menyaksikan pertunjukkan musik adat dan tidur di dalam rumah adat.

Pejabat-pejabat desa adat Waerebo yang menyambut kami.


Keesokan paginya saya kaget karena bangun melewatkan fajar. Pagi ini saya punya agenda pribadi untuk menangkap momen Waerebo terbalut semburat matahari pagi. Bergegas saya menyiapkan kamera dan tripod selagi banyak orang masih tertidur pulas.  Untung saya belum telat. Keadaan diluar sudah cukup terang namun sinar matahari belum muncul. Akhirnya saya berhasil menangkap di momen yang tepat, yang hasilnya saya pajang sebagai foto utama cerita ini.

Agenda resmi hari itu adalah lomba 17 Agustus. Coba ingat, kapan terakhir kali kamu menikmati gempita euphoria perlombaan kemerdekaan di RT setempat ? Dan saya kembali merasakannya di Waerebo, not an ordinary place to celebrate independence day. Sejak hari pertama datang, anak-anak lokal Waerebo sudah terlihat ceria dan enerjik. Mereka sudah sangat bahagia dengan keseharian mereka yang isinya bernyanyi dan bermain, tanpa harus ada iPad ataupun Playstation. Mereka pun sangat antusias mengikuti perlombaan-perlombaan yang sudah kami susun, walaupun beberapa hanya permainan sederhana bahkan ada yang di karang di tempat. Siapapun yang menang, semuanya bersorak-sorak riang. Perlombaan juga disediakan untuk yang dewasa, terutama yang bapak-bapak, karena para ibu sedang menyiapkan makan siang spesial di dapur.





Salah seorang kerabat kantor, arsitek dari Bali, Gede Kresna, siang itu bertugas menyiapkan makanan spesial untuk siang itu. Beliau kalau soal masakan menjunjung tinggi bahan-bahan pangan lokal, bahkan pernah bertandang ke kantor dan mengajari kami masak ayam betutu dan cincau langsung dari daunnya !
Kolaborasi bahan pangan dari Bali dan Waerebo, diolah dengan peralatan seadanya, disulap menjadi panganan lezat untuk dinikmati selepas lelah berlomba. Makanan-makanan tersebut dijejerkan di atas batu, kamipun mengantri tertib. Probably, itu makan siang paling eksotis dan nikmat yang pernah saya rasakan.


Bohong kalau ngga ngiler. 



Malamnya kami, terutama yang muda-muda, menggelar sleeping bag di rerumputan dan merebahkan diri di atas rerumputan. Sembari ngobrol-ngobrol ringan, kami menikmati langit Waerebo yang bertabur bintang dengan jelas, dengan sesekali ada bintang jatuh. Saya pikir adegan seperti ini cuma ada di film.

Asik gak asik gak

Keesokan harinya, tanggal 17 Agustus, merupakan puncak acara dan juga hari terakhir kami di Waerebo. Prosedur upacara bendera di Waerebo adalah menaikkan sang merah putih di atas atap Mbaru Niang dengan bantuan tangga. Ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan di atas sana, mata saya langsung basah. Seumur-umur saya ga pernah upacara bendera sampai nangis. Bendera perlahan-lahan mulai dinaikkan, dan..... ternyata masih rehearsal. Yah, salah momen dong gue. But anyway, saat prosedur yang sungguhan berlangsung, the vibes was still there, walaupun gak pake adegan nangis, karena kadar dramatisnya sudah berkurang.... :p



Perjalanan turun seharusnya lebih mudah daripada perjalanan naik. Namun kaki saya lecet ketika harus trekking menuju air terjun sehari sebelumnya. Di perjalanan kali ini, saya sengaja menjauh dari keramaian. Saya ingin jalan pelan-pelan menikmati kehijauan, tanpa harus diburu-buru orang belakang. Sambil menyetel musik-musik yang soothing ( gue banget.. ), perjalanan pulang hanya ada saya, Pak Casper dan sayup-sayup suara serangga hutan. Itu adalah perjalanan yang membahagiakan, apalagi di pos terakhir disuguhi gorengan..... :D


Next time, if you guys ever visit Waerebo, please do take care the environment. Walaupun desa adat yang terpencil di belantara gunung, Waerebo adalah desa yang bersih. Ngga ada namanya bau-bau tidak sedap dan sampah-sampah walaupun anjing-anjing bahkan babi ada yang berkeliaran. Kamar mandinya pun sudah cukup nyaman. And please do bring some charity money and also buy some of their local product to support the tourism and their welfare. 

Si Cantik dari ketinggian






Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Anindya Fathia
Maira Gall