Minggu, 08 Mei 2016

China Trip : Closer to Tibet



Setelah lima hari kami melakukan perjalanan lintas darat dari Kunming ke Lijiang, tujuan kami berikutnya adalah Shangri La, yang merupakan tujuan utama dari perjalanan kami. Awalnya kota ini bernama Zhongdian, sebuah provinsi di Yunnan, China. Untuk meningkatkan pariwisata, pada tahun 2001 nama kota ini diganti menjadi Shangri La, diambil dari sebuah nama kota fiksional dalam sebuah novel James Hilton, dimana kota imajiner tersebut terinspirasi oleh budaya-budaya dan adat istiadat penduduk Tibet. Walaupun masih merupakan wilayah China, namun kota ini sudah kental akan budaya dan penduduk-penduduk Tibet.

Karena Shangri La merupakan kota tujuan utama kami dan juga tujuan akhir road trip, maka jadwal kami di sini cenderung lama dan berjalan in slow pace. Ingin bersantai-santai menikmati alam, tidak seperti di kota-kota sebelumnya yang harus selalu bergegas pindah-pindah kota. Guide kami di kota ini seorang laki-laki muda bernama William, yang penampakannya lebih seperti Harry Potter versi ilustrasi buku. Persis, Sis. 

Bis kami berhenti pada sebuah lahan parkir komunal yang merupakan area parkir untuk para wisatawan yang berada di depan pintu masuk area kota tua. Hotel kami kali ini terletak di tengah desa kota tua, jadi bis kami pun tidak bisa mendekat ke hotel. Karena saya tahu hotel yang akan kami datangi ini merupakan hotel kecil, saya udah capek duluan membayangkan kami bawa-bawa koper berbondong-bondong menelusuri desa. Apalagi tas kami sudah bertambah karena belanjaan. Ternyata, hotel kami kali ini, biarpun kecil tapi servisnya bintang empat. Koper-koper kami diangkut masing-masing oleh para lobby boys (and ladies) yang penampilannya lebih seperti masyarakat Tibet sekitar. Wah, salut ! 


Jalanan pedesaan menuju ke hotel

I honestly expected a small, poorly designed, village class hotel for our stay in this city. Turned out, I was wrong, big time. Iya, hotelnya kecil, dikelilingi oleh tembok tinggi sehingga tidak terlihat dari jalan. Area entrancenya hanya sebuah pintu kecil, seperti kebanyakan rumah biasa. Bahkan, hotelnya terbagi dua area yang cukup berjauhan karena keterbatasan lahan. Restoran dan hotel pun merupakan dua bangunan terpisah yang berjarak kurang lebih 200 meter. Jadi, kalau mau sarapan pagi, harus menelusuri desa dulu untuk menemukan restoran. Tapi, ekspektasi saya salah kalau mengira ini hotel kacangan. 

Arti kata Shangri La sendiri bisa diartikan sebagai sebuah tempat imajiner yang begitu indah, atau sebuah tempat persembunyian yang begitu cantik. Kira-kira begitu first impression saya dengan hotel ini. Penginapan ini lebih seperti pesembunyian rahasia di tengah desa. Hotel ini hanya sebuah hotel berbintang yang menyamar seperti pondok kecil khas Tibet. Manajemenen dan servis nya tertata baik. Lobby hotelnya lebih berupa ruang tamu kecil yang hangat, lengkap dengan perapian dan sofa-sofa yang rustic, it makes you want to stay there all night drinking a cup of hot cocoa. Aduh, saya sampai kewalahan mendeskripsikan betapa cantiknya hotel ini lewat tulisan.



Lobby resepsionis yang bikin pingin duduk berlama-lama

Suasana depan kamar


Setiap kamar memiliki desain yang berbeda, namun tetap dengan style khas desa Tibet. Saya dan seorang teman mendapatkan kamar di lantai satu, tepat di samping lobby. Yang khas dari kamar kami adalah, kasur kami terletak pada area panggung kayu yang memisahkan antara ruang tidur dan ruang duduk kecil. Kasur kami dilengkapi heater, begitu juga area kamar mandi. Di kamar kami juga terdapat rak yang lengkap dengan beberapa buku-buku. I didn't know there's such a beautiful, remote place like this on earth. This hotel is nothing like I ever imagined.



Cuacanya memang tidak bersalju, walaupun di pagi hari kadang kami suka menemukan sedikit serpihan salju di kursi atau pada tanaman-tanaman. Suhunya kalau siang sekitar 6-9 derajat celcius, sedangkan kalau malam bisa sekitar 0-2 derajat celsius ! That was the lowest I've ever had in my life. One time, saya sedang menikmati hangatnya kasur heater di dalam hotel, tiba-tiba, menjelang jam 12 malam, suhu terasa lebih dingin seketika. Setelah mengecek ramalan cuaca lewat smartphone, saya langsung keluar kamar, merasakan nol derajat celsius pertama dalam hidup saya. Dinginnya menusuk sampai tulang. 

Keesokan harinya, kami mengunjungi Ganden Sumtseling Monastery, where we can see monks doing their religious activity. Sayangnya, untuk masuk ke dalam monastery tidak boleh pakai topi atau penutup kepala, jadi, saya yang notabene berkerudung ini tidak bisa masuk sampai dalam. Walaupun begitu, bagian luar monastery sudah cukup menarik, para buddhist juga banyak terlihat jalan-jalan di area luar.




Tidak jauh hotel, terdapat yang katanya the largest Tibetan praying wheel. Jadi, orang-orang Tibet berdoa sambil memutari roda raksasa ini. Untuk mencapai tempat rodanya, kami harus menaiki tangga yang cukup tinggi. Sewaktu saya berjalan sendirian ke atas, I met a lady who was a holding a baby dog in her arms. A golden retriever baby ! My heart, it hurts !



Yang paling khas dari Tibet adalah bendera-bendera aneka warnanya, yang menjuntai di setiap sisi bangunan religi yang ada. Bendera-bendera ini juga sering ditemukan di beberapa restoran atau di jalanan.


Jadwal kami pada hari berikutnya adalah mengunjungi Pudacuo National Park. Taman nasional ini memiliki luas 1.300 kilometer persegi, dan merupakan rumah bagi sepertiga spesies mamalia dan burung yang ada di China.  Kami mengelilingi taman nasional ini menggunakan bis, yang memiliki beberapa tempat pemberhentian untuk foto-foto dan menikmati pemandangan alam. Walaupun binatang yang sempat lihat hanya kawanan Yak, namun saya terpesona oleh warna-warna alam yang disajikan oleh taman nasional ini. Warna yang menggambarkan awal musim dingin. Gabungan warna hijau tua dan ungu muda dari pepohonan, kuningnya rerumputan, dilengkapi dengan biru gelapnya danau. Tak lupa warna coklat muda dari batang pohon-pohon tua tak berdaun.Setiap kali pemberhentian kami pun selalu foto-foto.




Kawanan Yak sedang makan


Dari Pudacuo National Park, acara kami setelah itu adalah mengunjungi Banyan Tree Ringha Resort, salah satu resort dari bagin grup Banyan Tree, yang kebetulan lokasinya kami lewati dalam perjalanan pulang ke hotel. Saat di Lijiang, kami juga sempat mengunjungi salah satu resort Banyan Tree disana, namun hotel tersebut, even though I have to admit it was very beautiful, keseluruhan bangunan resort merupakan bangunan baru. Yang membuat Banyan Tree Ringha berbeda adalah, bangunan-bangunan di resort ini merupakan bangunan tua yang di sulap menjadi penginapan bintang lima. Jadi, instead of menjadi suatu produk arsitektur mewah yang berteriak di antara bangunan-bangunan pedesaan di sekitarnya, resort ini terlihat menyatu dengan lingkungan, menyajikan suasana asli Tibet namun dengan servis kelas kakap. Walaupun bagian interiornya sudah diperbarui, namun tidak menghilangkan kesan penginapan China klasik. Oiya, arsitek Banyan Tree seluruh dunia adalah arsitek Indonesia yaitu Pak Dharmali, beliau keren ya !


Salah satu kamar tidur di Banyan Tree Ringha

Bathing like a real Tibetan, everyone ?






Selain mengamati arsitektur, agenda kami di Banyan Tree Ringha adalah makan malam. Jujur, di titik ini saya udah bosan (dan sejujurnya agak eneg) dengan makanan China. Entah karena memang keadaan perut yang belum beres sepulang dari gunung salju, atau perut udah protes sehari-hari makannya chinese food terus. Jadi malam itu, walaupun dikasih pilihan berbagai masakan eksotis, saya cuma nafsu makan pizza margherita, which turned out pretty good anyway.



Ini margherita pizza yang saya pesan


Keesokan paginya, karena harus mengejar pesawat pulang ke Kunming jam delapan pagi, maka pukul enam kami sudah harus ada di restoran untuk sarapan dengan membawa koper yang sudah siap angkut kembali ke dalam bis. Empat hari berada di Shangri La, kami selalu sarapan dengan menu yang sama setiap paginya, yaitu roti tawar, telur ceplok, tomat, jagung rebus dan semacam roti labu yang dimakan dengan madu bunga yang rasanya seperti makan sabun cuci piring karena wangi banget. Agak hambar, but I will miss this breakfast, tho.



Restaurant hotel yang berjarak 200 meter dari hotel utama

Kami pikir, bandara Shangri La ini cuma bandara desa kecil dengan satu baggage carousel yang cuma punya tiga gate. Ternyata, bandara nya cukup besar dan mewah ! Walaupun begitu, we had no idea what airplane we were flying with, karena pemesanan tiket kami serahkan kepada tour guide kami. I'm a type on an anxious flyer, who do research just about every airlines I'm flying with. The safety record, the customer reviews, everything. Imagine how I feel when there's no information on what airline it was on the ticket. Not until the plane had arrived and we were told to board. Ternyata kita terbang dengan Lucky Air. Ngga ada waktu buat browsing-browsing, pasrah saja deh. Untung kita bisa landing dengan selamat di Kunming walaupun turbulance nya bikin mules

Sampai di Kunming, masih dengan post-flying fatigue, kami langsung menuju Shilin Stone Forest. Sebenernya, stone forest ini cukup cantik ya untuk jalan-jalan santai sore hari. Apalagi hari itu langitnya biru banget, hasil foto-foto disana jadi cakep-cakep. Susunan batu-batu raksasa yang konon terbentuk oleh erosi air hujan yang mengikis bebatuan ini juga tersusun dengan eksotis, berpadu sama rumput-rumput hijau segar. Kalo dilihat dari atas, stone forest ini kesannya dramatis dan agak serem, padahal kalau dari bawah, teduh dan cukup asik buat jalan-jalan, banyak yang jualan makanan, banyak ibu-ibu yang latihan menari, dan banyak orang pacaran pula. Cuma, karena masih capek setelah terbang dan bangun pagi-pagi buta, kita malah minta cepat-cepat pulang ke hotel karena pingin rebahan santai sebelum makan malam. Alhasil, beberapa spot kami skip dan kami langsung kembali ke Kunming City Centre untuk kembali menginap di Holiday Inn.






Keesokan harinya, sebelum ke airport, kami sempat mampir ke yang judulnya sih Flower Market. Saya pikir tadinya pasar tradisional yang menjual aneka bunga, udah kepikiran mau bawa pulang bunga untuk Ibu. Eh ternyata, Flower Market ini ternyata mal ! Mungkin salah satu spot komersil yang masuk dalam program tour guide kami. Sore hari,  akhirnya kami pun lepas landas ke Hong Kong dengan DragonAir. Jujur, dinginnya China, bikin saya kangen hangatnya, maksud saya panasnya kota Jakarta.

Kamar kami di Holiday Inn Kunming

Flower Market di Kunming, yang sebenarnya mall sejuta umat



Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Anindya Fathia
Maira Gall