Senin, 19 Desember 2016

Cooking With Papua Jungle Chef



His name is Charles Toto. Atau panggilan akrabnya Chato.


Papua Jungle Chef adalah gelar kebangaannya, yang ia dapat setelah memutuskan meninggalkan dunia kuliner hotel dan pindah haluan ke kuliner hutan. Sudah sekitar 20 tahun lebih beliau menggeluti dunia masak-memasak, terhitung sejak memasuki sekolah kuliner di Jayapura. His true passion is food from jungle. Bagi Chato, hutan itu seperti pasar. Beraneka ragam bahan pangan siap olah tersedia disana dan gratis. Mulai dari buah merah, sukun, sampai ulat sagu. Chato juga sempat bekerja sebagai private chef di kapal Phinisi, dan salah satu orang yang pernah merasakan masakannya adalah.... Mick Jagger. Yes, the Mick Jagger, on Phinisi boat, on his secret voyage to Korowai ( how could we miss this? ). Kini Chato aktif menggalakkan kuliner dengan bahan-bahan makanan dari hutan, yang kerap ia sajikan kepada turis-turis yang datang ke Papua.

Dari dulu dengar nama dan ceritanya dari bos saya, Yori Antar (a.k.a pendekar arsitektur nusantara ), saya sudah penasaran dengan masakannya, dan ingin tanya-tanya banyak hal tentang masakan Papua. Akhirnya kesempatan untuk masak bersama datang juga setelah Chato diundang untuk masak di kantor dan menjamu teman-teman Pak Bos untuk makan malam.

Chato was here !

Biasanya, kalo soal urusan masak-memasak, arsitek di kantor yang paling semangat itu Hafiz dan Saya. Well, lebih banyak Hafiz yang terlibat di dapur, sih. Saya lebih banyak potong sayur, banyak tanya dan sekaligus dokumentasi juga.

Cookout kali ini dimeriahkan oleh kehadiran Ibu Helianti, founder dari Javara Indonesia, and she's happened to be very humble yet inspiring. Memperkenalkan dirinya sebagai ibu rumah tangga yang punya partner bisnis 52.000 petani Indonesia, beliau cerita sudah menghasilkan 240 produk bahan pangan lokal dan organic certified. "Subsidi Tuhan untuk Indonesia itu luar biasa," kira-kira begitu ucapannya yang paling saya ingat. Kalau saya selama ini cuma tau superfood populer semacam kale, lentils dan chia seeds, Bu Heli menyadarkan saya kalau Indonesia punya lebih banyak jenis superfood lokal seperti jewawut, daun krokot, daun pegagan dan banyak lagi.   


Ibu Helianti, the pioneer behind Javara


Ibu Heli menyiapkan tiga menu untuk makan malam kali ini. Salad buah dengan wild leaves dan bubur jewawut untuk starter, serta es krim kelapa dan mangga untuk dessert (hancur sudah diet saya).


Seumur-umur, saya belum pernah lihat salad secantik buatannya Ibu Heli. Gabungan dari buah jeruk bali, semangka, bunga dan daun-daunan liar dipadu dengan gurihnya feta cheese dan dressing yang menurut saya mirip vinaigrette, hanya saja ini versi manisnya karena menggunakan madu. Dedaunan liar yang dipakai merupakan daun pegagan, krokot, sirih bumi dan kenikir yang konon bergizi tinggi, bahkan lebih tinggi dari produk hewani. 
Too beautiful for a salad



Selain salad, Ibu Heli juga membuat bubur dari Jewawut, Saya juga baru dengar tentang bahan pangan ini. Jewawut, atau istilah lainnya Sorghum, merupakan sumber karbohidrat yang baik karena gluten-free. Menurut saya, teksturnya seperti quinoa. Jewawut ini dimasak hingga lunak, digabung dengan santan, gula, pewarna alami dan kacang-kacangan. A very nice and sweet starter !


Sorghum saat masih dicuci
Bubur Jewawut, dengan kacang dan santan


Chato bertugas memasak main course. Makanan pertama yang ia masak adalah semacam kolak sukun. Buah sukun direbus hingga empuk, diberi pewarna dari buah merah yang ia bawa dari papua.

Buah merah asli dari papua. 

The next course is.. Pumpkin Soup ! Buah labu di potong dadu, ditumis dengan daging cincang, diberi air, cilantro cincang dan garam. Iya, cukup dengan bumbu garam dan cilantro saja udah sedap banget. Daging cincangnya memberi cita rasa kaldu sapi, labu nya memberikan sedikit rasa manis. Sup ini kemudian dimasukkan ke dalam labu yang sudah di keruk. Cantik ya ! Sisa daging buah labu ada juga yang dijadikan salad, hanya dengan ditambah cilantro (daun ketumbar) dan gula.

Sup Labu

Salad Labu Manis
Saya dan Chato

Selain itu, Chato juga memasak Papeda. Papeda ini khas Papua, berupa sagu yang dimasak hingga menyerupai lem kanji ( kalau saya suka bikin ini untuk prakarya sekolah dulu ). Papeda yang hambar ini dimakan dengan sup ikan baronang dengan kuah santan. Semua masakan yang dimasak Chato semuanya tanpa MSG, murni rempah-rempah dan garam. Sebetulnya, Chato membawa Ulat Sagu dari Papua untuk dimasak. Sayang seribu sayang, sepertinya dibuang oleh pihak hotel ( mungkin dikira belatung ? ) Padahal saya penasaran banget ingin coba.

Baronang yang dilumuri lemon


Papeda + Sup Ikan

Ini lho yang namanya Papeda


Last entree from Chato, the jungle chef menyajikan masakan fusion nusantara dan Italia, berupa Pizza Ubi. Buah ubi, di lunakkan hingga halus, lalu dimasak hingga menyerupai roti pipih yang pastinya gluten free. Roti yang menyerupai tortilla dari ubi ini kemudian disajikan dengan topping daging cincang dan keju mozzarella. So far, ini favorit saya ! Maklum, saya pecinta keju.

Pizza tanpa tepung, tanpa telur. 

The crowd. Ini belum semua...

Ibu Heli, Chato, with Yori Antar and kids

Untuk pencuci mulut, Ibu Heli sudah menyiapkan hidangan yang menurut saya bisa disebut dengan Mango Split ( It's like Banana Split, but with mango, got it ? ) Potongan mangga dengan es krim rasa kelapa yang ditaburi kacang-kacangan organik dari Javara, enaknya pol ! Suatu hari saya pasti akan coba bikin.

Ini lho Mango Split yang enak itu




Oiya, kebetulan, di acara makan-makan kali ini, kami kedatangan tamu-tamu dari Baduy yang baru saja sampai di Bintaro setelah dua hari jalan kaki dari desa mereka. Iya, jalan kaki. Selain penduduk asli Baduy, ada juga Igir, penyair dari Papua yang merupakan sahabat Chato. Malam yang seru ya, orang dari berbagai suku berkumpul. Ada chef Papua yang menyajikan masakan, ada orang Baduy yang menjajakan kerajinan asli suku mereka, ada orang Jawa karbitan sibuk makan dan motret (saya maksudnya).

Mereka yang datang dari Baduy



Igir (kiri) , teman Chato yang merupakan penyair dari Papua

Saya tadinya adalah orang yang cukup skeptis, menganggap kalau masakan Indonesia itu terlalu banyak gula, terlalu banyak minyak dan karbohidrat sederhana. Dari Chato dan Ibu Heli, saya sadar, dengan sedikit kreativitas, bahan pangan Indonesia juga bisa diolah menjadi masakan sehat, terutama untuk buah dan sayur-mayurnya yang lebih kaya daripada yang orang awam seperti saya ketahui. Istilah gemah ripah loh jinawi itu benar adanya.

But seriously though, we need more nights like this. 



© Anindya Fathia
Maira Gall