Kamis, 21 April 2016

China Trip : Part One



Perjalanan paling gokil di first quarter life kehidupan saya.

I was born to do road trips, I was raised having road trips. Saya selalu suka perjalanan darat, bahkan ke tempat yang sama berulang kali seperti lintas pantura Jakarta-Semarang setiap tahun saat lebaran tiba. Bisa menyaksikan langsung keseharian berbeda orang-orang di kota kecil, atau mencicipi kuliner lokal sepanjang perjalanan sambil diramaikan oleh inside jokes keluarga ( Oh, we got plenty ) . Perjalanan mudik selalu jadi agenda keluarga yang ditunggu setiap tahunnya.



It was in September, 2015, saat kami arsitek-arsitek di kantor dikabarkan akan melakukan perjalanan ke Yunnan, China sebagai trip tahunan kantor. Lebih serunya lagi, pada trip kali ini kita akan melakukan road trip dari Kunming ke Shangrila. Ini pertama kalinya saya ditraktir jalan-jalan overseas, so I can't even describe how happy I was. Not even a word. Visa segera kami siapkan, dan karena saya akan menghadapi musim dingin pertama saya, belanja peralatan tempur siap kedinginan pun kami segerakan. The interesting thing was, atasan saya kalau mengadakan trip kantor cenderung memilih ke tujuan-tujuan yang tidak mainstream atau yang sudah umum dikunjungi orang. Salah satunya adalah ke Yunnan ini.

Pernah ngga sih, mau berangkat liburan ke suatu tempat yang jauh, rasanya perut bergejolak ngga karuan menjelang keberangkatan. Iya, itu adalah kebiasaan biologis saya, that I would love to hate. Bikin packing last minute jadi ngga fokus, jadi nervous, jadi malas makan. Semacam travelling butterflies gitu. Dan kami pun lepas landas ke Hongkong tanggal 28 Oktober malam harinya.


Ngantuk gila subuh-subuh sampai Hong Kong


Kami mendarat di Kunming tanggal 29 Oktober siang harinya. Kalau pernah melihat Bandara Kunming seperti apa, pasti mengerti deh kami-kami yang para arsitek ini terpana melihat arsitekturnya. Interiornya dipenuhi oleh signature waves berwarna kuning. Kunming adalah kota modern, yang terkenal dengan sebutan Spring City, karena katanya sih berbunga-bunga sepanjang tahun. Intinya kota ini identik dengan bunga, bahkan bakpia pun isinya kelopak mawar ( Serius, namanya rose cake. Rasanya mungkin seperti makan kemenyan ). Nah, kalau mencari aspek-aspek kehidupan yang masih kental budaya China, disini belum terlihat, karena kota dan bangunannya modern. Disini pun kami hanya singgah semalam di hotel Holiday Inn, dan harus segera cabut ke kota Dali keesokan paginya.


Kunming Airport's signature waves

Kami menyempatkan jalan-jalan sore harinya sebelum makan malam. Walaupun bukan kota yang high-tech dan tidak serapih Singapura, tetap saja saya sangat menikmati sebuah aura perkotaan yang baru yang belum pernah saya rasakan. Terutama karena udaranya sangat sejuk, dan pejalan kaki bisa tertib menikmati pedestrian path yang segitu lebarnya bahkan bis pun bisa lewat. Duh, jajanan dan bakar-bakaran di pinggir jalan rasanya memanggil-manggil, apalagi buat saya yang hobi jajan di kaki lima. Namun kita sudah diperingatkan untuk nggak mencicipi jajanan tersebut, dikarenakan kurang higienis dan bikin diare. Too bad, itu cumi bakarnya bikin ngiler banget. 





Travel agent dari China yang menampung kami sepertinya punya aturan khusus untuk mengajak kami mampir ke salah satu industri khas dari setiap kota yang kami kunjungi. Di Kunming, kami diarahkan untuk mampir ke sebuah rumah teh sebelum melanjutkan perjalanan ke Dali. Saya pikir kami akan duduk mengelilingi meja dan melakukan upacara minum teh yang sophisticated a la imperial atau semacamnya. Ternyata lebih seperti upaya brainwash tentang teh-teh China yang di fermentasikan selama 20 tahun yang harganya jutaan rupiah. Rasanya teh nya sih memang enak, there's a strange after-taste on one single sip. But seriously, jutaan rupiah untuk ngeteh ? Saya minum teh botol Sosro aja udah happy kok.


Awalnya saya nggak punya gambaran seperti apa old town di Yunnan. Saya sengaja tidak browsing banyak-banyak sebelum keberangkatan, karena ingin menyisakan surprise-surprise di sepanjang perjalanan. And yes, Yunnan old towns captured my heart. Kota-kota tua di China lebih seperti distrik berupa downtown dengan skala-skala yang intim dan akrab. Bangunan-bangunan komersil kecil dengan ornamen-ornamen China, jalan-jalan yang tidak terlalu lebar yang hanya ditujukan untuk pejalan kaki, dan toko souvenir yang lucu-lucu dan agak impulsive. Seperti di Dali, saya langsung jatuh cinta dengan sebuah gang kecil yang dipenuhi restoran-restoran mungil dan pedagang-pedagang merchandise.



I fell in love with this aisle. 


Hotel tempat menginap di Dali usianya sudah berdiri ratusan tahun. Rasanya seperti menginap di padepokan Kung Fu, and talking about Kung Fu, there's no elevator in this hotel so yes, you better pretend you're a real Kung Fu warrior to lift all your baggages upstair. 





Guide kami di Dali namanya Nancy, seorang ibu berusia kisaran menjelang 40 tahun. Orangnya ramah dan kocak, bahasa inggrisnya pun bagus. Kemana-mana dia selalu mengenakan topi tradisional khas wanita Yunnan dengan sulur-sulur menjuntai. Dia bisa menjelaskan berbagai cerita dan kebiasaan orang Dali like a storyteller. Pagi pertama di Dali, kami diajak untuk mengunjungi Tianlongbabu Movie Town. Wait.. what ? Movie ? As an avid movie geek, saya langsung melek dengar kata film. Saya udah mengkhayal akan ada di tempat 30 Seconds To Mars syuting video klip From Yesterday yang katanya sih itu video klip termahal. Ternyata Tianlongbabu itu seperti giant Chinese movie set, where you can feel there's a live colossal Mandarin movie scenes happening around you. Bisa foto-foto sama pasukan penjaga gerbang dinasti, bisa lihat putri-putri kerajaan sedang looking for Mr. Right, bisa juga melihat langsung adegan buronan dinasti yang kabur dan sedang dicari-cari oleh prajurit kerajaan.






Dua malam di Dali, dari situ kami melakukan perjalanan ke Lijiang. Saya menikmati perjalanan darat yang kami lakukan setiap kali pindah kota, menyaksikan peradaban dan pemandangan berbeda di setiap rutenya, walaupun memakan waktu berjam-jam. I did tell you I'm a road trip person, right ?

Kota tua Lijiang berdiri di area yang lebih besar, dan lebih penuh dengan bunga-bunga musim semi. I officially left my heart in Lijiang old town. Entah kenapa, skala yang intim  adalah hal begitu saya nikmati di kota tua Lijiang. Bangunan-bangunan kafe dan restoran yang saling berdekatan dan tidak terlalu tinggi, kursi-kursi coffee shop yang bersinggungan langsung dengan jalur pejalan kaki, dan juga pedagang-pedagang kelas menengah yang menjajakan barang dagangan yang unik-unik. Apalagi malam itu malam minggu, saya merasakan dikelilingi oleh vibe yang menyenangkan malam itu.

Pemandangan sepanjang road trip






Lijiang Old Town, Saturday night



Salah satu highlight perjalanan kami adalah Jade Dragon Snow Mountain, sebuah gunung salju tak jauh dari kota Lijiang. Saya yang notabene nggak pernah lihat salju, just couldn't handle myself deh pokoknya. Dari ngantri cable car aja perut udah bergejolak lagi gara-gara euphoria. Duh, norak banget deh. I was about to have my first snow experience ! 
Entrance menuju pemberhentian cable car.


Cable car yang kami naiki akan membawa kami ke ketinggian sekitar 4500 meter di atas permukaan laut. Awalnya agak ngeri, karena kereta gantung bergerak cepat menukik ke atas dengan tajam. Awalnya hanya terlihat rerumputan hijau, dan tiba-tiba di sekeliling kami dipenuhi kabut sehingga tidak bisa melihat pemandangan. Sempat kecewa karena saya mengharapkan bisa melihat pemandangan gunung salju perlahan muncul terlihat dari kereta. Tiba-tiba kabut mulai menipis, dan kami mulai kembali melihat rerumputan. Rerumputan yang mulai tertupi gumpalan-gumpalan putih. Yes ! It was snow ! It was snow !


Sampai di atas kami turun di sebuh pondok pemberhentian yang ternyata sudah ramai orang. Ketika saya turun, saya sudah melihat salju dari jendela pondok. Baru melihat dari jendela aja udah senang banget. Begitu keluar pondok, lho, kok tertutup kabut lagi. Tenang, begitu kami keluar, entah kenapa atau mungkin ya begitulah campur tangan Tuhan yang maha besar, kabut pelan-pelan naik dan puncak gunung salju pun menampakkan diri. My first snow happened in 4500 meters above sea level. On a super-high glacier park ! 

Kabut yang perlahan naik.

Bukan elang liar kok, bawaan orang, tapi tetep aja gemes.


Aaaahh gilak !

Ya namanya juga terlalu excited, atau mungkin terlalu pecicilan dan terlalu bahagia, jadi lupa diri. Ketika kereta gantung yang membawa saya mulai turun, tiba-tiba rasanya seisi kepala dan perut saya juga anjlok. Kalau mual biasanya terjadi pelan-pelan dan bertahap, yang ini tiba-tiba muncul dan rasanya langsung bikin lemes selutut-lutut. Nama kerennya sih high-altitude sickness, buat saya sih itu lebih seperti masuk angin versi elit. Saya langsung keluarkan semua alat tempur mabuk darat. Kaleng oksigen, minyak angin, coklat, koyo, cemilan, you name it. Walaupun akhirnya nyerah, sampai daratan akhirnya jackpot juga...


Saya juga nggak ngerti kenapa ada orang bawa Alpaca ke gunung salju -__-

Sepulangnya dari gunung salju, dengan perut yang udah lega setelah jackpot yang agak malu-maluin di pinggir jalan, kita mampir ke Shuhe Old Town. Kota tua yang ini lebih gemesin lagi ternyata. Lebih sepi, dan lebih terlihat seperti desa kecil, tapi kafe-kafenya ngga kalah lucu ! Menunggu para ibu-ibu yang belanja, saya dan beberapa orang teman memutuskan untuk istirahat di sebuah coffee shop, yang mungkin,  is the cutest coffee shop I've ever been to. It was a very small coffee shop and a boutique, but that was the cute part. It was a maximum comfort inside there. You feel like you're home yet so far away. You can see it by yourself.






I didn't know a place like this even exists

And that was the first chapter, guys. The next chapter will be about our Shangri La days. You can read it in ---> here 




Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Anindya Fathia
Maira Gall