Senin, 08 Juli 2019

Kulatresna : Keindahan Tersembunyi di Bantul



Kulatresna. Kula artinya saya. Tresna artinya cinta.

Yogyakarta siang itu terik, namun lenggang. Kasongan sedang tidak ramai pembeli, karena hari itu hari kerja dan bukan juga musim liburan. Kenangan saya tentang Kasongan masih berupa daerah yang penuh dengan kerajinan gerabah, seperti ketika saya kesana belasan tahun lalu. Namun kini komoditas Kasongan mulai bervariasi. Toko-toko perabot baik yang bergaya etnik maupun modern berjajar cantik di pinggir jalan. Kualitas ekspor, sering ikut pameran, mereka bilang. Aksesoris rumah seperti macramé, kap lampu dan berbagai pot anyaman pun dijajakan dengan cantik di balik kaca kios. Tidak kalah dengan yang dijual di Seminyak. Bagi pecinta dekorasi rumah seperti saya, Kasongan ini secret paradise.

“Mas, nanti pulangnya mampir ya,” ujar saya antusias, seraya mobil kami melewati jalanan tersebut, menuju Desa Wisata Krebet. Kami baru menikah dua minggu, dan ini hari pertama bulan madu kami. Tadinya tentu saja kami berpikir ke Bali, seperti kebanyakan pasangan kelas menengah sebaya kami lainnya. Namun ternyata ada dua acara keluarga berjarak seminggu di Yogyakarta, kota kelahiran suami. Akhirnya kami memutuskan untuk berbulan madu sekalian disana. Lebih hemat juga, karena tidak perlu naik pesawat.

Sejak pertama kali melihat foto Kulatresna lewat Airbnb, saya langsung gelisah. Gelisah ingin segera booking tanggal karena takut penuh di hari yang kami inginkan. Vilanya hanya satu, terlalu cantik dan rimbun. Menurut saya rate permalamnya cukup reasonable untuk vila sebesar dan seindah itu. Sebagai perbandingan, kalau di Jakarta harga tersebut baru dapat suite hotel kelas menengah dengan sarapan nasi goreng hambar. Untungnya, kami berhasil menghubungi pemilik vila dan mendapatkan tanggal sesuai harapan. Dari awal mengontak pemilik vila, Mas Tiko demikian beliau disapa, sudah terlihat bahwa ia sangat memperhatikan kemudahan calon tamunya. Mas Tiko menanyakan apakah mau menambah makan malam, atau apakah kami perlu kendaraan. Berhubung kami membawa mobil sendiri dari Tangerang, dan kebetulan suami saya adalah warga asli Yogya, jadi kami bilang kami bisa kesana sendiri.

Desa Wisata Krebet, siang itu sunyi, namun hijau menyegarkan batin. Suasana desa yang menghanyutkan, yang membuat warga ibukota berangan untuk menghabiskan hari pensiun disini. Dari balik kesunyian, bertemulah kami dengan dinding bebatuan yang berdiri di pinggir jalan, berdampingan dengan pepohonan. Tidak ada papan nama yang mencolok, hanya dinding batu dan jalan yang sepi.



Kami disambut langsung oleh Mas Tiko. Pemilik, penggagas, dan beliau juga sering stand by di rumah belakang vila. Mas Tiko dibantu beberapa pekerja untuk mengurus vila Kulatresna, namun tidak jarang Mas Tiko sendiri yang memasak makanan yang disajikan untuk tamunya. Kamipun di bukakan pintu kamar.

Sebuah tempat tidur putih berkelambu diletakan tepat di tengah ruangan, dikelilingi empat kolom saka guru, langsung menghadap kepada akses visual kearah kebun di belakang. Pemandangan pepohonan memanjakan jiwa terhampar di arah jam dua belas tempat tidur. MasyaAllah. Setengah tidak percaya pada pandangan sendiri, ada tempat secantik ini di tengah Bantul. Di samping kiri tempat tidur ada meja makan kayu, di sebelah kanan ada sofa daybed berbentuk bundar.  Nuansa ruangan ini putih dengan sedikit sentuhan biru, dua warna yang sarat dengan ketenangan.





Kamar mandinya membuat jatuh cinta. Menurut saya, desain kamar mandi ini kreatif dan jenius. Pancuran airnya bersandar pada sebuah pohon di tengah ruangan. Bayangkan, ada pohon di tengah kamar mandi. Bagian ruang bathtub tidak beratap, hanya teduh oleh dedaunan yang menjalar, dikelilingi dinding bebatuan. Sudahlah, keindahan ruangan ini tidak bisa diwakilkan oleh aksara. Terlalu indah, saya bagi saja fotonya.

 




Makan malam kami hari itu adalah olahan tangan Mas Tiko sendiri. Di vila ini Mas Tiko hanya menyajikan sajian vegan, bahkan seringkali diolah tanpa harus dimasak, atau bahasa populernya, raw food. Mas Tiko seorang lulusan sekolah kuliner di Singapura, dan aslinya dari Jakarta Selatan. Bahan panganan lokal di tangannya bisa menjadi sajian kreatif pemanja indera perasa.

Menu kami malam itu burger vegan, kalau tidak salah isinya terbuat dari kacang hitam dipadu dengan biji-bijian lainnya. Rasanya tidak kalah dengan wagyu burger. Nikmat tanpa diakhiri rasa bersalah telah menambah asupan lemak hewani. Untuk pencuci mulut, Mas Tiko membuatkan kami raw vegan brownies. Terbuat dari coklat, minyak kelapa dan kacang mede. Pekat, harum aroma kelapa, tidak terlalu manis dan tentu saja lezat. Kalau untuk saya rasanya seperti gabungan chocolate ganache dan wingko babat. Untungnya Mas Tiko membuatkan kami satu mangkuk besar jadi kami punya sisa untuk cemilan bersantai besok.



Menikmati pagi di Kulatresna rasanya tidak ingin kemana-mana. Hanya ingin merebahkan diri di teras belakang villa, membaca dan memandangi kebun. Tidak ada batasan antara vila dan kebun, petani bisa lewat langsung depan teras vila, menyapa langsung kepada kita. Posisi vila ini lebih tinggi daripada kebun, sehingga cakupan visual kepada lingkungan sekitar lebih luas.



Walaupun terlalu nyaman di kamar, saya dan suami berniat mengunjungi curug yang ada di dekat vila. Curug Pulosari namanya. Berbekal kamera, handuk dan sandal jepit, kami pun berjalan kaki. Tidak ada mobil lewat, motor pun jarang. Hanya sesekali ada warga sekitar yang juga berjalan kaki. Coba saja disapa, nanti dapat hadiah senyum hangat khas penduduk Yogyakarta. Sepi, damai. Namun, saya pikir perjalanan singkat ini bisa bergandengan romantis, melewati desa dan berbincang ringan. Ternyata medannya cukup menantang. Menaiki dan menuruni medan berupa batu licin dan tanah basah. Walaupun begitu, total perjalanan hanya makan lima belas menit. And it was all worth it.



Seindah ini, hanya ada kami berdua. Biru. Hanya saja tidak ada diantara kami yang berani berenang karena tidak tahu kedalaman airnya. Hanya bermain di air dangkal dan duduk-duduk di atas bebatuan, mendengarkan suara air terjun. Menurut kami itu cukup untuk pagi yang ringan.

Sepulang dari vila, kami memutuskan untuk bersantai sampai siang. Hanya bersantai, tidak usah memikirkan pekerjaan kantor yang ditinggal, menikmati hidup saja. Mas Tiko membawakan kami sarapan. Kwetiauw lezat, dengan kerupuk buah naga. Jangan bayangkan kerupuk ini manis seperti buahnya, rasanya seperti kerupuk goreng lainnya, hanya saja warnanya sedikit ungu. Karena suka, sisa kerupuk yang belum digoreng saya beli untuk dibawa pulang. 



Sembari menemani kami sarapan, Mas Tiko banyak bercerita. Mas Tiko membuat vila ini bertujuan untuk menyokong keberlanjutan kebun di sekeliling Kulatresna, supaya tetap bisa menghasilkan bahan pangan dan memperkaryakan para petani yang merupakan warga asli sekitar. Luas tanahnya sekitar 916 Mdan ditanami puluhan spesies tanaman seperti kacang tanah, kelor, kacang hijau, wijen dan singkong. Jadi vila cantik ini dibangun dengan berlandaskan tujuan sosial. Semakin kagum rasanya.


Setahun berlalu semenjak kami merasakan singgah di Kulatresna. Saya tetap mengikuti perkembangan Kulatresna dan perjalanan Mas Tiko dan timnya lewat Instagram. Kalau tidak salah mereka sedang membangun service quarter bergaya British colonial berpadu dengan arsitektur Jawa, yang materialnya diambil dari material-material bekas atau sisa.

Saya dan suami berjanji, suatu hari akan kembali lagi.


Rabu, 03 Juli 2019

Married Life : Hidup Mandiri Berdua


Akhirnya update blog lagi setelah setahun lebih menikah. Banyak rasanya yang pingin ditulis tentang kehidupan baru setelah berumah tangga dan hidup berdua. Kali ini mau cerita yang sederhana aja, tentang pengalaman setahun hidup berdua suami. Karena menurut aku perubahan hidup yang paling terasa setelah menikah itu ya karena memutuskan tinggal berdua suami.

Aku menikah di usia 26, dan di usia tersebut (dan sampai sekarang) teman sebaya yang menikah itu lagi banyak-banyaknya. Wedding invitations are popping like popcorns.  Banyak yang memutuskan langsung hidup mandiri berdua, banyak juga yang memutuskan untuk tinggal bersama orang tua atau mertua. Dua-duanya pilihan, yang masing-masing punya konsekuensi dan juga menyesuaikan sama kebiasaan dan preferensi setiap pasangan. Karena kebetulan aku memilih untuk hidup mandiri, mungkin disini aku bisa share pengalaman dan plus-minusnya dari sudut pandang istri dengan pengalaman menikah baru setahun.

Manajemen Dapur

I’ve been cooking since 2008, jadi kalau soal masak-memasak harusnya udah aku nggak kaget. IYA, HARUSNYA. Memasak zaman bujang itu berbedaaaaa dengan memasak dalam rumah tangga, Anak Maniiiss. Tetap aja harus adaptasi. Ilmu memasak dan manajemen dapur adalah dua hal yang berbeda. Zaman kuliah dan sebelum menikah memasak itu hanya kalau weekend, dan mau masak apa itu bisa direncanakan dengan detail dan mood nya sudah disiapkan jauh-jauh hari. Belanjanya pun khusus hanya untuk masak di hari itu. Jadi kalau hari itu mau bikin guacamole, ya sabtu pagi udah belanja santai ke pasar cari alpukat dan olive oil.

The thing with domestic life is, you cook on a daily basis. You serve meal two, three times a day. Not to mention the dirty dishes piled up in your sink. Isi kulkas harus direncakan akan masak apa saja seminggu ke depan, harus diatur mana yang cepat basi, mana yang tahan lama, mana yang harus masuk freezer. Goal utamanya, bagaimana caranya setiap hari ada masakan rumah, tanpa harus ke pasar setiap hari. I messed up on the first few months, banyak bahan makanan basi terbuang, seminggu bisa harus beberapa kali belanja, sama anggaran belanja yang belum bisa terbukukan dengan jelas. It seems that all my ten years of cooking experience went down the drain.  

Kenapa kok nggak catering aja? Kok nggak beli aja? Delivery kan gampang.
Nggak salah kok kalau ada yang memutuskan rajin delivery atau makan diluar. Kesibukan orang beda-beda. Alasan aku masih bela-belain masak sendiri adalah, jauh lebih hemat, Siiisss. Coba deh pesen nasi sama ayam goreng, jatuhnya bisa 25.000-40.000-an sendiri per porsi belum sama ongkir. Ayam broiler montok ginuk-ginuk satu ekornya di pasar modern itu harganya 43.000, bisa di potong delapan besar-besar, bisa buat lauk delapan kali makan. Jauh Neng bedanya.  Oiya, karena kebetulan lagi belajar hidup sehat dan mengurangi gorengan, agak susah kalau catering atau selalu pesan. Di Jabodetabek masih agak susah menemukan restoran atau catering sehat yang ramah di kantong.

Gladi Bersih-Bersih

Hidup punya pembantu selama 26 tahun hidup aku, dulu cuma mau bersih-bersih kamar sendiri sama kadang-kadang kamar mandi lantai dua. Dulu belum pernah kenalan sama yang namanya nyetrika setiap hari, cuci tumpukan piring yang selesai di cuci lalu numpuk lagi, sama merasakan lantai yang kembali berminyak padahal baru juga di pel.

Untungnya suami juga orang yang rajin bersih-bersih dan sangat kritis dengan debu dan remah-remah makanan, jadinya dirumah saling mengingatkan. Kalau saya hobinya ngelap meja kompor dan bak cuci, suami hobinya ngepel level squeaky clean sampai ke sudut-sudut dan membersihkan kasur dari remah cemilan. Kalau saya prinsipnya sebelum pergi keluar rumah kamar harus di bereskan, kalau suami nggak bisa tolerir tumpukan cucian piring kotor yang berantakan. Eh, tapi nggak setiap hari kok kita bersih-bersih, bisa nggak produktif nanti. Kita nggak se-clean freak itu. Seminggu atau dua minggu sekali, biasanya kalau weekend kita rencanakan untuk kerja bakti, bersihin rumah sampai sudut-sudut. Nanti tahu-tahu udah sore. Lalu di akhiri dengan go-food chatime dan nonton Netflix. Irit karena nggak keluar rumah, sehat karena dapat banyak gerak, rumah pun wuangi.

Walaupun begitu, ada aja waktu-waktu khilaf atau terlalu capek yang nggak memungkinkan untuk setrika atau cuci piring. Akhir-akhir ini pun lagi sering panggil laundry atau Go-Clean khusus setrika. Pernah waktu sakit dan harus bedrest dirumah, panggil Go-Clean untuk bersihin satu rumah sampe sudut-sudut plus cuci piring. Zaman sekarang ini mau berumah tangga itu serba dimudahkan.  

Undeniable Bills

Disini saya mengerti kenapa banyak teman-teman saya yang tetap memutuskan untuk tinggal bersama orangtua atau mertua setelah menikah. Tinggal bersama orangtua memang pilihan yang sangat hemat secara finansial. Ketika kamu memutuskan untuk hidup mandiri, pembengkakan biaya nggak hanya datang dari cicilan rumah atau sewa kontrakan. It’s far beyond that.

Mau mengawali hidup mandiri, tentu saja harus beli furniture dan elektronik. Kalau ada warisan perabot, bisa lumayan menghemat banget. Tapi berhubung saya sama suami sama-sama arsitek, jadi buat kami tema perabot rumah harus terkonsep walaupun sederhana (ribet ya). Walaupun bikin tabungan terkuras, tapi kita semangat belanja furniture, apalagi rumah kami dekat IKEA hahahahaha. We’ve made a lot of impromptu trips to IKEA and ended up buying salad spinner or toilet brush.

Selain perabotan, kalau tinggal di komplek ada namanya iuran bulanan. Jangan lupa ada listrik dan juga kebutuhan domestic rumah tangga seperti deterjen, aqua, gas, internet, bahan makanan, belum lagi kalau ada yang perlu di service. Itu kalau di total nggak kecil lho biayanya, sampai jutaan rupiah, dan kamu nggak perlu mengeluarkan ini semua kalau tinggal sama orangtua. Silahkan pilih untuk masuk tabungan atau untuk jajan cantik keliling Jakarta Selatan.

Kuncinya sih tetap perencanaan keuangan yang baik. Kebetulan saya dan suami adalah tipe yang awam finansial, maksudnya ya perencanaan keuangan kami intinya menabung atau cari uang lebih banyak, dan mengadopsi gaya hidup yang semampunya. Kami juga bukan orang yang suka menyicil dengan credit card untuk barang remeh temeh, bahkan waktu menikah pun sama sekali nggak ada yang punya CC. Hingga detik ini pun Alhamdulillah kami tidak sedang nyicil apapun (dan semoga seterusnya dimudahkan Allah SWT untuk nggak perlu nyicil). Sewaktu mengisi rumah, dananya sudah kami siapkan jauh-jauh hari. Mengisi rumah pun jadi kenangan yang menyenangkan.


The Benefits

Kalau memang ribet, terus kenapa tetap milih untuk hidup mandiri ?
Keuntungan hidup mandiri yang paling terasa untuk aku sih, kebebasan. Apalagi untuk aku yang seumur hidup nggak merasakan jadi anak kos. Bebas diskusi apapun sama suami di ruang manapun. Bebas menentukan perabot dan dekorasi rumah. Bebas menentukan hari itu menyajikan makan apa. Bebas menentukan kapan rumah dibiarkan berantakan dan kapan mulai kerja bakti. Bebas tiduran di kamar seharian kalau weekend tanpa rasa bersalah. Bebas menyalakan diffuser wangi apapun di ruang tamu. As simple as that. Hal-hal kecil seperti itu membawa kebahagiaan untuk saya. Bagi saya, kebebasan ini priceless.

Keuntungan lainnya adalah, beradaptasi lebih awal. Kami berdua sudah mulai merasakan kagetnya mengurus rumah tangga dari awal pernikahan sewaktu masih berdua aja. Kami lebih fleksibel dan santai dalam mencari ritme kegiatan berumah tangga yang pas, juga dalam mencari style rencana finansial yang sesuai. Andaikan saya mulai hidup mandiri ketika sudah punya anak-anak kecil, mungkin jauh akan lebih kewalahan. Paling tidak, setahun pernikahan sudah mulai nyicil mengumpulkan ilmu dan life hacks yang memudahkan dalam mengurus rumah. Ritmenya pun sudah mulai ketemu walaupun nanti kalau sudah ada bayi pasti akan berubah lagi.

Kira-kira begitu. Semoga kalian yang belum menikah dan merencanakan menikah, atau akan merencanakan hidup mandiri bisa mempertimbangkan lebih baik lagi pilihannya. Intinya, kalau mau hidup mandiri, nggak boleh males ! Karena akan perlu banyak effort dan tenaga, kecuali kalau kamu mau mengeluarkan biaya lebih untuk jasa full-time ART. But above all, tinggal berdua dari awal menikah itu menyenangkannya tidak terganti. Banyak pelajaran, bonding dan mengenal pasangan pun bisa lebih leluasa.

Permisi. 







Jumat, 05 Januari 2018

My Favorite Not-So-Popular Apps


Dari sekian banyak aplikasi smartphone yang digunakan orang Indonesia, saya punya beberapa aplikasi favorit (dan bermanfaat tentunya) tapi memang nggak sepopuler Path atau Facebook. Face it, on our daily basis, we hardly live through one day without any intervention of social media and smartphone applications. Spotify, Twitter, Instagram, you name it, they have became our daily technology multivitamin shots, brought to you by magical first world wonderland called Silicon Valley. 

Kebanyakan orang Indonesia biasanya pakai Facebook, Twitter, atau Instagram kalau untuk masalah update aktivitas sosial. Kalau untuk chatting  kita masih di dominasi oleh Line atau Whatsapp. Diluar masalah update sosial, kini orang Indonesia juga sudah banyak mengembangkan aplikasi untuk mempermudah urusan kehidupan, ada Go-Jek yang bisa untuk mengorder ojek di manapun kapanpun, ada Zomato yang mempermudah urusan pilih-pilih tempat makan (maklum saya hobi jajan), ada Traveloka yang sangat, sangat mempermudah urusan pesan-memesan hotel dan tiket pesawat. Dan Google Map ! Andalan banget buat yang kemana-mana nyetir sendiri kayak saya. Nah, aplikasi yang aku sebut tadi itu yang personally signifikan banget bikin hidup aku jadi lebih praktis. And FYI, this is not a sponsored post. 

Tapi diluar aplikasi-aplikasi tadi, do explore more, ada banyak lagi aplikasi unik yang kita selama ini nggak sadar kalau kita butuh. We didn't know we need it until we try it. 

Alarmy

Hampir semua orang ketawa kalau aku cerita soal aplikasi ini. This one is my favorite, even though I want to smack my phone, most of the time this thing shows up. Basically, Alarmy ini adalah alarm yang ketika bunyi cuma bisa dimatiin dengan menjawab soal matematika sederhana minimal tiga soal. Simply genius. Sederhana memang, tapi dengan harus menjawab pertanyaan macam 55 + 79, otomatis aku pasti kebangun dong.

Semua ini berawal ketika aku sadar, aku punya kemampuan buat mematikan alarm dalam tidur. Yes, I press sneeze button in my sleep. Jadi walaupun suara alarmnya sampai membahana membelah plafond kamar juga tetep aja nggak bangun. Ini suka bikin galau kalau besok paginya mau ngejar pesawat pagi. Tapi saya yakin, in this world where people started to create artificial intelligence, penyakit saya ini pasti ada solusinya. And it's called Alarmy. 

Yang nyebelin, aplikasi ini nggak bisa ditutup paksa, seperti kalau di Android aplikasi bisa di close dengan men-swipe ke kanan.  Kesel sih, tapi itu kenapa kinerja Alarmy mujarab banget untuk kebiasaan jelek aku. By the way, selain soal matematika, ada juga pilihan untuk ambil foto atau menggoyang-goyangkan device supaya alarm nya mati.

Medium

It's like another alternate dimension of social media, without any intervention of crappy selfies ataupun orang dagang teh herbal pelangsing cepat. Buat yang suka bacaan ringan, artikel self-help atau sekadar opini orang yang tersaji dengan well-written, pasti cocok sama Medium. Buat saya Medium adalah a private yet personal reading sanctuary feed, dan entah kenapa bebas dari postingan receh. Orang-orang berani memposting tulisan yang kontroversial sekalipun tanpa harus takut di bully. Tema tulisan yang muncul di feed tergantung dengan interest yang dipilih. Kalau feed aku biasanya di dominasi oleh feed entrepreneurship, technology, humor and food. Dan entah kenapa, hampir semua tulisan yang masuk medium itu tertulis dengan bahasa yang indah. I don't know how, or maybe that's just the way it works, tulisan yang masuk ke feed aku topiknya menarik dan bahasannya selalu enak dan , it makes you feel related to the authors. Judul artikelnya mulai dari  "Workaholic's Guide to Happiness and Balance" , atau  "Our Tech Predictions for 2017", or sometimes you'd find "A Day in The Life of Stormtrooper".

Yang asik lagi, rata-rata penulis artikel disini, yang berasal dari berbagai negara, juga antusias kalau kita meninggalkan pertanyaan atau tanggapan sama tulisan mereka, dan kadang bisa jadi diskusi seru. Everybody can be themselves in Medium, because we take no haters here. Aku sendiri belum sempat bikin tulisan apa-apa, masih jadi avid silent reader dan kadang memberi tanggapan sama beberapa tulisan.


Wunderlist

Aku punya kebiasaan untuk mencatat apapun dan dimanapun. Terutama ide, gagasan atau kalau tiba-tiba teringat sesuatu yang harus dilakukan. Buat aku, ide yang belum tercatat itu ibarat burung masih terbang lepas di langit. Bisa tiba-tiba hilang and we would never remember that ideas ever existed. Kalau ada ide lewat di kepala, mulai dari ide pingin masak apa atau ide bisnis yang tiba-tiba muncul, pasti langsung aku tulis ke dalam list. 

Re-reading my lists gives me sense of purpose 
(lebay but true), bikin semangat hidup karena ternyata masih banyak hal dan tujuan asik yang bisa dilakukan dan dicapai, Dan aplikasi yang paling enak buat bikin list itu so far adalah Wunderlist. Aku sampe taruh aplikasi ini di halaman paling depan smartphone because I'm obsessed with writing down (and checking down) lists. User interface-nya pun praktis, kalau kita mau bikin kategori baru atau membuka kategori lama untuk masukkan poin baru. Nggak banyak ornamen basa-basi atau kebanyakan tombol. Andalan banget kalau lagi belanja di supermarket !

Charade

Mungkin kalau bahasa Indonesia nya ini adalah permainan tebak kata, dimana satu orang meletakkan kata yang harus ditebak di kepala, dan teman-teman satu timnya harus kasih clue supaya si orang itu berhasil nebak. Buat saya ini adalah game praktis peramai suasana. Kalau lagi nunggu makanan di restoran sama teman-teman, main game ini bisa bikin berisik satu resto. Tapi disitu serunya. Kalau cari playstore, game Charade ini ada banyak versi, Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia. Surprisingly, kategorinya seru-seru dan updated, mulai dari Superhero sampai Tokoh Politik. Kalau saya sih selalu menang kalau soal karakter film huahahahaha. 








Senin, 19 Desember 2016

Cooking With Papua Jungle Chef



His name is Charles Toto. Atau panggilan akrabnya Chato.


Papua Jungle Chef adalah gelar kebangaannya, yang ia dapat setelah memutuskan meninggalkan dunia kuliner hotel dan pindah haluan ke kuliner hutan. Sudah sekitar 20 tahun lebih beliau menggeluti dunia masak-memasak, terhitung sejak memasuki sekolah kuliner di Jayapura. His true passion is food from jungle. Bagi Chato, hutan itu seperti pasar. Beraneka ragam bahan pangan siap olah tersedia disana dan gratis. Mulai dari buah merah, sukun, sampai ulat sagu. Chato juga sempat bekerja sebagai private chef di kapal Phinisi, dan salah satu orang yang pernah merasakan masakannya adalah.... Mick Jagger. Yes, the Mick Jagger, on Phinisi boat, on his secret voyage to Korowai ( how could we miss this? ). Kini Chato aktif menggalakkan kuliner dengan bahan-bahan makanan dari hutan, yang kerap ia sajikan kepada turis-turis yang datang ke Papua.

Dari dulu dengar nama dan ceritanya dari bos saya, Yori Antar (a.k.a pendekar arsitektur nusantara ), saya sudah penasaran dengan masakannya, dan ingin tanya-tanya banyak hal tentang masakan Papua. Akhirnya kesempatan untuk masak bersama datang juga setelah Chato diundang untuk masak di kantor dan menjamu teman-teman Pak Bos untuk makan malam.

Chato was here !

Biasanya, kalo soal urusan masak-memasak, arsitek di kantor yang paling semangat itu Hafiz dan Saya. Well, lebih banyak Hafiz yang terlibat di dapur, sih. Saya lebih banyak potong sayur, banyak tanya dan sekaligus dokumentasi juga.

Cookout kali ini dimeriahkan oleh kehadiran Ibu Helianti, founder dari Javara Indonesia, and she's happened to be very humble yet inspiring. Memperkenalkan dirinya sebagai ibu rumah tangga yang punya partner bisnis 52.000 petani Indonesia, beliau cerita sudah menghasilkan 240 produk bahan pangan lokal dan organic certified. "Subsidi Tuhan untuk Indonesia itu luar biasa," kira-kira begitu ucapannya yang paling saya ingat. Kalau saya selama ini cuma tau superfood populer semacam kale, lentils dan chia seeds, Bu Heli menyadarkan saya kalau Indonesia punya lebih banyak jenis superfood lokal seperti jewawut, daun krokot, daun pegagan dan banyak lagi.   


Ibu Helianti, the pioneer behind Javara


Ibu Heli menyiapkan tiga menu untuk makan malam kali ini. Salad buah dengan wild leaves dan bubur jewawut untuk starter, serta es krim kelapa dan mangga untuk dessert (hancur sudah diet saya).


Seumur-umur, saya belum pernah lihat salad secantik buatannya Ibu Heli. Gabungan dari buah jeruk bali, semangka, bunga dan daun-daunan liar dipadu dengan gurihnya feta cheese dan dressing yang menurut saya mirip vinaigrette, hanya saja ini versi manisnya karena menggunakan madu. Dedaunan liar yang dipakai merupakan daun pegagan, krokot, sirih bumi dan kenikir yang konon bergizi tinggi, bahkan lebih tinggi dari produk hewani. 
Too beautiful for a salad



Selain salad, Ibu Heli juga membuat bubur dari Jewawut, Saya juga baru dengar tentang bahan pangan ini. Jewawut, atau istilah lainnya Sorghum, merupakan sumber karbohidrat yang baik karena gluten-free. Menurut saya, teksturnya seperti quinoa. Jewawut ini dimasak hingga lunak, digabung dengan santan, gula, pewarna alami dan kacang-kacangan. A very nice and sweet starter !


Sorghum saat masih dicuci
Bubur Jewawut, dengan kacang dan santan


Chato bertugas memasak main course. Makanan pertama yang ia masak adalah semacam kolak sukun. Buah sukun direbus hingga empuk, diberi pewarna dari buah merah yang ia bawa dari papua.

Buah merah asli dari papua. 

The next course is.. Pumpkin Soup ! Buah labu di potong dadu, ditumis dengan daging cincang, diberi air, cilantro cincang dan garam. Iya, cukup dengan bumbu garam dan cilantro saja udah sedap banget. Daging cincangnya memberi cita rasa kaldu sapi, labu nya memberikan sedikit rasa manis. Sup ini kemudian dimasukkan ke dalam labu yang sudah di keruk. Cantik ya ! Sisa daging buah labu ada juga yang dijadikan salad, hanya dengan ditambah cilantro (daun ketumbar) dan gula.

Sup Labu

Salad Labu Manis
Saya dan Chato

Selain itu, Chato juga memasak Papeda. Papeda ini khas Papua, berupa sagu yang dimasak hingga menyerupai lem kanji ( kalau saya suka bikin ini untuk prakarya sekolah dulu ). Papeda yang hambar ini dimakan dengan sup ikan baronang dengan kuah santan. Semua masakan yang dimasak Chato semuanya tanpa MSG, murni rempah-rempah dan garam. Sebetulnya, Chato membawa Ulat Sagu dari Papua untuk dimasak. Sayang seribu sayang, sepertinya dibuang oleh pihak hotel ( mungkin dikira belatung ? ) Padahal saya penasaran banget ingin coba.

Baronang yang dilumuri lemon


Papeda + Sup Ikan

Ini lho yang namanya Papeda


Last entree from Chato, the jungle chef menyajikan masakan fusion nusantara dan Italia, berupa Pizza Ubi. Buah ubi, di lunakkan hingga halus, lalu dimasak hingga menyerupai roti pipih yang pastinya gluten free. Roti yang menyerupai tortilla dari ubi ini kemudian disajikan dengan topping daging cincang dan keju mozzarella. So far, ini favorit saya ! Maklum, saya pecinta keju.

Pizza tanpa tepung, tanpa telur. 

The crowd. Ini belum semua...

Ibu Heli, Chato, with Yori Antar and kids

Untuk pencuci mulut, Ibu Heli sudah menyiapkan hidangan yang menurut saya bisa disebut dengan Mango Split ( It's like Banana Split, but with mango, got it ? ) Potongan mangga dengan es krim rasa kelapa yang ditaburi kacang-kacangan organik dari Javara, enaknya pol ! Suatu hari saya pasti akan coba bikin.

Ini lho Mango Split yang enak itu




Oiya, kebetulan, di acara makan-makan kali ini, kami kedatangan tamu-tamu dari Baduy yang baru saja sampai di Bintaro setelah dua hari jalan kaki dari desa mereka. Iya, jalan kaki. Selain penduduk asli Baduy, ada juga Igir, penyair dari Papua yang merupakan sahabat Chato. Malam yang seru ya, orang dari berbagai suku berkumpul. Ada chef Papua yang menyajikan masakan, ada orang Baduy yang menjajakan kerajinan asli suku mereka, ada orang Jawa karbitan sibuk makan dan motret (saya maksudnya).

Mereka yang datang dari Baduy



Igir (kiri) , teman Chato yang merupakan penyair dari Papua

Saya tadinya adalah orang yang cukup skeptis, menganggap kalau masakan Indonesia itu terlalu banyak gula, terlalu banyak minyak dan karbohidrat sederhana. Dari Chato dan Ibu Heli, saya sadar, dengan sedikit kreativitas, bahan pangan Indonesia juga bisa diolah menjadi masakan sehat, terutama untuk buah dan sayur-mayurnya yang lebih kaya daripada yang orang awam seperti saya ketahui. Istilah gemah ripah loh jinawi itu benar adanya.

But seriously though, we need more nights like this. 



Jumat, 19 Agustus 2016

People-watching at The Airport, Sunday Morning




I never knew people-watching at the airport could be so amusing, especially in the pick-up area. You know, observing people and their interactions while we guessing their story from distance.

I woke up early, and had a very nice drive to the airport, a very peaceful one because it was Sunday morning and the highway was clear and quiet. The sky was a bit gloomy -just the way I like it, Fourplay was on the radio, and I was picking up a best friend whom I hadn't see for a while because we live in different cities. 

While waiting for my friend, I chose to stand facing the arrival door, where newly-arrived flight passengers were coming out and greeted anyone who was picking them up, whether it was family, colleague or long-time friends. The events probably seem normal from a regular ignorant eye, I mean, it was an airport, where reunions and good-byes happen every time and scattered along the terminals. But, take a look. 

Take a slow deep breath and look them with your curious heart. There's a hidden story in every 'hello' in this place. That tall European guy, he was greeted by a group of locals who was probably his long-time friends rather than his tour-guide, because they seem so friendly. That woman who just came out, she hugged her child on arrival door, because who knows maybe she just got from a long trip and missed her child so much. Or that young man, hugging his cheerful friends, he probably cannot wait to explore the city for the first time. That was just surprisingly heartwarming, I wonder myself why I never did that before. If you put down your smartphone (that Pokemon is going nowhere), and look at your surrounding, you can capture a lot of frank happiness, spread along between those arrival doors and parking lot. 

There is this genius concept of reality show in Canada, called 'Hello Goodbye'. They interview random people on arrival bay on Canada's busiest airport, who happened to have interesting story about the person they were picking up. The single father with his daughter who was waiting for his girlfriend, with surprise engagement ring. The Pakistani wife who was waiting for her husband that she met on arranged married, and still managed to say "My heart is pounding," for waiting for his arrival. And then there was my favourite, a guy in his fifties, meeting her long-lost sister for the first time. They never met before, but when she finally showed up, they hug like old families, all tearing up and he even brought her a plush doll to welcome her. To be honest, the show was sentimentally touching, even for me, the reality show skeptic who thinks that Animal Planet was the only non-orchestrated reality channel nowadays.

But, look, ordinary happiness was all around, they come in other people's stories but they are contagious as well. In airports, you can catch happiness in different forms. The joy of landed safely, the happiness to see the family again, the excitement of travelling to the new places. This is why I always enjoy airport vibes. 

So when my best friend finally showed up, there was my arrival story. We were both starving so we grabbed a breakfast on IKEA and stuffed ourselves with Swedish meatballs.

Minggu, 29 Mei 2016

Cooking Indian with Denis Amirtharaj


Masakan India selalu membuat saya penasaran. Sajiannya yang sarat akan rempah dan minyak itu selalu membuat saya bertanya-tanya apa saja bumbu yang mereka racik ke dalamnya, sehingga tersaji panganan lezat menggugah selera makan. Istilah-istilahnya pun tidak kalah eksotis, mereka punya tandoori, tikka masala, raita, paratha dan lainnya. Sembilan tahun mendalami hobi memasak, jujur saya udah lama ingin bisa menaklukkan satu resep masakan india, tapi akhirnya kalah sebelum berperang, maksudnya pusing duluan lihat daftar bumbunya. 

Sekitar awal tahun 2016, seorang mahasiswa arsitektur asal Chennai, India bernama Denis Amirtharaj mengajukan permohonan magang ke kantor kami. Kami pun menyambutnya dengan excited, karena belum pernah menerima mahasiswa magang dari India sebelumnya. Kami bahkan heran, kenapa nama kantor kami bisa terdengar hingga ke negaranya. Ketika sampai di Indonesia, Denis bercerita kalau kedatangannya itu adalah pengalaman pertamanya melakukan perjalanan lintas negara, dan akan tinggal sendiri di Bintaro selama tiga bulan . That was kinda huge for a first overseas trip.

Our Chennai guy

Alih-alih banyak berdiskusi tentang arsitektur, ternyata saya dan Denis lebih nyambung ketika diskusi tentang makanan. Ternyata, sama seperti saya, Denis juga penikmat kuliner. Saya yang udah lama penasaran dengan kuliner India bisa berdiskusi banyak dengan Denis, dan saya juga memberikan rekomendasi makanan-makanan Indonesia untuk dia cicipi. His favorite ? Tongseng ! Kami juga sama-sama penggemar film kuliner seperti Chef, Burnt dan No Reservation. Pokoknya, kalau saya ketemu Denis, obrolannya nggak jauh-jauh dari saffron dan garam masala.

Sesuai tradisi kantor kami --dimana anak magang wajib masak untuk orang sekantor lalu kami lempar ke kolam renang, Denis pun akhirnya kami todong untuk masak enak, karena kami penasaran dengan masakan India yang disiapkan langsung oleh native-nya. Akhirnya, menjelang akhir masa magangnya, Denis pun sepakat untuk memasak Indian buttered chicken untuk kami. Cihuy !

Buttered chicken, atau yang terkenal dengan nama murgh makani di India, merupakan hidangan berupa ayam dengan saus kari yang kaya akan mentega. Berdasarkan cerita Denis, awal mula terciptanya hidangan ini berawal dari sekelompok orang yang memiliki sisa chicken tandoori, lalu entah karena kelaparan atau mungkin cuma iseng, mereka campur dengan mentega dan rempah-rempah. Voila ! Jadilah buttered chicken yang kondang di India ini. Hidangan ini biasa disajikan dengan nasi basmati yang dimasak dengan kacang polong. 

Daftar bumbu yang diberikan Denis, seperti yang kita pasti duga, cukup panjang dan membuat bingung. Ketika sedang berdiskusi bahan, Denis mengeluarkan sebuah bungkusan berisi bubuk-bubuk bumbu berwarna merah bata. Ia bercerita, bumbu tersebut diracik sendiri oleh ibunya, terdiri dari campuran garam masala, merica, kunyit, jintan dan fennel seed. Bumbu tersebut bisa digunakan untuk memasak hingga empat kilogram ayam. Saya dan teman-teman pun serentak bersama-sama mencium aroma bumbu tersebut dan...... seketika langsung lapar. Aromanya mewakili segala yang bisa tercium dari semangkuk kari ayam hangat. Harum luar biasa. I never knew there was such an indulging smell like that. Rasanya saya sudah bisa mencicipi hidangan tersebut walaupun masih berupa racikan rempah, yang diramu langsung oleh tangan seorang ibu dari India. And all I managed to say was :

" Denis, tell your mom I send my regards,"

Keesokan harinya, saya dan Denis pun mulai belanja sejak pagi. Tidak sulit mencari bahan-bahan yang diperlukan, mengingat Bintaro punya satu pasar modern, satu pasar tradisional, dan lima supermarket besar yang harga dan produknya selalu bersaing. Hanya saja, kami memang harus berkelana untuk melengkapi segala bumbu dan bahan yang diperlukan, terutama yang unik seperti garam masala yang cuma ada di Lotte Mart.

Don't you just love the color

Selama masak, Denis sigap menjadi head chef, dan Hafiz siaga sebagai sous-chef. Saya jadi seksi dokumentasi yang juga merangkap tukang potong bawang dan timun, dan ngemilin yogurt tentunya. 
Oiya, untuk melengkapi hidangan siang itu, Denis juga menyiapkan cucumber raita, semacam sauce dip yang terbuat dari campuran plain yogurt, parutan ketimun, dan daun mint. Raita ini biasa dimakan dengan pita bread atau paratha.


Sous-chef in action





Setelah masak selama total tiga jam, jam satu siang masakan Denis siap untuk makan siang bersama and the party started. Ayamnya matang sempurna, bumbunya thick, creamy and spicy, tapi bagian favorit saya adalah taburan daun ketumbarnya yang memberikan tendangan segar. Semua setuju bilang enak banget, tanpa ketinggalan cucumber raita dan paratha nya yang langsung ludes. Semua kenyang dan happy. Sayang sekali Denis harus kembali ke India dalam waktu dekat, kami pasti akan kangen dengan masakannya.

Denis Amirtharaj's Buttered Chicken.


The proud chef

The team


I never write any recipes formally before, dan kebetulan resep yang dipakai Denis cukup ribet (dan pakai bumbu rahasia racikan ibunya), jadi resep yang saya share ini sudah dalam versi yang lebih gampang, dengan komposisi bumbu yang mendekati resep asli Denis. Saya pribadi juga akan lebih sering pakai resep ini karena lebih praktis, dan resep ini memakai fillet dada ayam instead of potongan ayam. Resep di bawah ini porsinya juga disesuaikan untuk orang satu rumah. I challenge ye !

Buttered Chicken

6 sdm                    Butter ( Saya pakai Anchor salted )
1 Kg                        Fillet dada ayam, potong dadu ( kalau mau tetap pakai ayam potong juga silahkan)
1 buah                  Bawang bombay besar
3 Siung                  Bawang putih, cincang halus
3 sdt                      Garam Masala (Merk lokal Jay's Kitchen, ada di Lotte Mart)
1 sdt                      Bubuk Cabe
1 sdm                    Jahe Parut Segar
1 sdt                      Jintan Bubuk
1/2 sdt                  Cayenne Pepper
1 sdm                      Tomato Paste (Bukan saus tomat ya, favorit saya pakai Del Monte )
2 cup                     Krim masak ( Elle & Vire creme cuisson, but any plain cream will do)
I Buah                   Lemon
                                Daun ketumbar untuk garnish
                                Beras Basmati (optional)

1. Lelehkan 2 sendok makan butter di atas wajan dengan api medium high-heat, masak ayam hingga semua sisi kecoklatan. Untuk saat ini belum perlu untuk mematangkan ayam sampai sempurna, masukkan ayamnya juga disarankan untuk bertahap, tidak sekaligus semua, work in batches. Kalau sudah, singkirkan ayamnya.

2. Lelehkan 2 sendok makan butter dengan api medium-heat. Masukkan bawang bombay, masak hingga agak lembut, mungkin sekitar 3 menit. Masukkan bawang putih, cayenne, garam masala, jahe, bubuk cabe, jintan, dan cumin. Aduk-aduk sebentar, lalu masukkan tomato paste.

3. Aduk-aduk bumbu dan tomato paste, hingga simmered, maksudnya agak mendidih perlahan, masak sekitar empat menit, lalu setelah itu masukkan krim. Aduk dan masak hingga kembali mendidih perlahan, masukkan ayam, diamkan hingga kembali mendidih kecil perlahan selama 10-15 menit. Kalo mendidihnya jadi terlalu besar, kecilkan apinya. Biasanya, semakin lama dimasak, ayam akan semakin empuk. So, cook as long as you want, walaupun semakin lama waktu masak, akan lebih banyak membutuhkan tambahan cairan (bisa ditambah air).

4. Masukkan 2 sendok makan sisa butter, masukkan garam dan merica sesuai selera. Lanjutkan masak ayam hingga matang sempurna.

5. Cincang daun ketumbar yang sudah di cuci, lalu campurkan ke buttered chicken. Mungkin kesannya hanya garnish dan pelengkap, tapi buat saya potongan daun ketumbar punya peran penting untuk membuat cita rasa yang berbeda. Seriously, it changes the whole game. 

6. Lemon juga ditambahkan sebagai pelengkap, bisa diperas jusnya atau di potong membujur cantik dan disajikan bersama sajian.

Eits, belum selesai. Saya juga akan kasih resep Cucumber Raita, semacam dip atau saus celup khas India yang biasa dimakan dengan pita bread atau paratha bread (or in my case, potato chips !). Actually this dip was my favorite part, karena saya pribadi senang bereksperimen dengan berbagai macam dips. Guacamole, salsa, honey mustard, you name it. Jadi ketika Denis mengajarkan saya membuat raita, how can't I never heard about this dip before ? This sauce is so fresh yet so creamy, dengan tendangan dari daun mint, dan mudah banget untuk dibuat.




Cucumber Raita

1 Buah                  Timun ukuran sedang, kupas dan buang bijinya, lalu parut.
1 Sdt                     Bubuk Jintan
2 cup                     Plain Yogurt
3 sdm                    Daun mint cincang ( jangan lupa cuci dulu)
                             Garam dan Merica secukupnya
                             Perasan air lemon, sesuai selera

Campur semuanya, lalu beri garam dan merica sesuai selera ( iya gitu doang hahaha ). Cucumber raita ini jodohnya pita bread, tapi buat saya, any chips will do. Bikin Raita satu mangkuk, beli Happy Tos atau keripik singkong, and throw a movie marathon with some friends. Hey, happiness is easy !
© Anindya Fathia
Maira Gall