Rabu, 03 Juli 2019

Married Life : Hidup Mandiri Berdua


Akhirnya update blog lagi setelah setahun lebih menikah. Banyak rasanya yang pingin ditulis tentang kehidupan baru setelah berumah tangga dan hidup berdua. Kali ini mau cerita yang sederhana aja, tentang pengalaman setahun hidup berdua suami. Karena menurut aku perubahan hidup yang paling terasa setelah menikah itu ya karena memutuskan tinggal berdua suami.

Aku menikah di usia 26, dan di usia tersebut (dan sampai sekarang) teman sebaya yang menikah itu lagi banyak-banyaknya. Wedding invitations are popping like popcorns.  Banyak yang memutuskan langsung hidup mandiri berdua, banyak juga yang memutuskan untuk tinggal bersama orang tua atau mertua. Dua-duanya pilihan, yang masing-masing punya konsekuensi dan juga menyesuaikan sama kebiasaan dan preferensi setiap pasangan. Karena kebetulan aku memilih untuk hidup mandiri, mungkin disini aku bisa share pengalaman dan plus-minusnya dari sudut pandang istri dengan pengalaman menikah baru setahun.

Manajemen Dapur

I’ve been cooking since 2008, jadi kalau soal masak-memasak harusnya udah aku nggak kaget. IYA, HARUSNYA. Memasak zaman bujang itu berbedaaaaa dengan memasak dalam rumah tangga, Anak Maniiiss. Tetap aja harus adaptasi. Ilmu memasak dan manajemen dapur adalah dua hal yang berbeda. Zaman kuliah dan sebelum menikah memasak itu hanya kalau weekend, dan mau masak apa itu bisa direncanakan dengan detail dan mood nya sudah disiapkan jauh-jauh hari. Belanjanya pun khusus hanya untuk masak di hari itu. Jadi kalau hari itu mau bikin guacamole, ya sabtu pagi udah belanja santai ke pasar cari alpukat dan olive oil.

The thing with domestic life is, you cook on a daily basis. You serve meal two, three times a day. Not to mention the dirty dishes piled up in your sink. Isi kulkas harus direncakan akan masak apa saja seminggu ke depan, harus diatur mana yang cepat basi, mana yang tahan lama, mana yang harus masuk freezer. Goal utamanya, bagaimana caranya setiap hari ada masakan rumah, tanpa harus ke pasar setiap hari. I messed up on the first few months, banyak bahan makanan basi terbuang, seminggu bisa harus beberapa kali belanja, sama anggaran belanja yang belum bisa terbukukan dengan jelas. It seems that all my ten years of cooking experience went down the drain.  

Kenapa kok nggak catering aja? Kok nggak beli aja? Delivery kan gampang.
Nggak salah kok kalau ada yang memutuskan rajin delivery atau makan diluar. Kesibukan orang beda-beda. Alasan aku masih bela-belain masak sendiri adalah, jauh lebih hemat, Siiisss. Coba deh pesen nasi sama ayam goreng, jatuhnya bisa 25.000-40.000-an sendiri per porsi belum sama ongkir. Ayam broiler montok ginuk-ginuk satu ekornya di pasar modern itu harganya 43.000, bisa di potong delapan besar-besar, bisa buat lauk delapan kali makan. Jauh Neng bedanya.  Oiya, karena kebetulan lagi belajar hidup sehat dan mengurangi gorengan, agak susah kalau catering atau selalu pesan. Di Jabodetabek masih agak susah menemukan restoran atau catering sehat yang ramah di kantong.

Gladi Bersih-Bersih

Hidup punya pembantu selama 26 tahun hidup aku, dulu cuma mau bersih-bersih kamar sendiri sama kadang-kadang kamar mandi lantai dua. Dulu belum pernah kenalan sama yang namanya nyetrika setiap hari, cuci tumpukan piring yang selesai di cuci lalu numpuk lagi, sama merasakan lantai yang kembali berminyak padahal baru juga di pel.

Untungnya suami juga orang yang rajin bersih-bersih dan sangat kritis dengan debu dan remah-remah makanan, jadinya dirumah saling mengingatkan. Kalau saya hobinya ngelap meja kompor dan bak cuci, suami hobinya ngepel level squeaky clean sampai ke sudut-sudut dan membersihkan kasur dari remah cemilan. Kalau saya prinsipnya sebelum pergi keluar rumah kamar harus di bereskan, kalau suami nggak bisa tolerir tumpukan cucian piring kotor yang berantakan. Eh, tapi nggak setiap hari kok kita bersih-bersih, bisa nggak produktif nanti. Kita nggak se-clean freak itu. Seminggu atau dua minggu sekali, biasanya kalau weekend kita rencanakan untuk kerja bakti, bersihin rumah sampai sudut-sudut. Nanti tahu-tahu udah sore. Lalu di akhiri dengan go-food chatime dan nonton Netflix. Irit karena nggak keluar rumah, sehat karena dapat banyak gerak, rumah pun wuangi.

Walaupun begitu, ada aja waktu-waktu khilaf atau terlalu capek yang nggak memungkinkan untuk setrika atau cuci piring. Akhir-akhir ini pun lagi sering panggil laundry atau Go-Clean khusus setrika. Pernah waktu sakit dan harus bedrest dirumah, panggil Go-Clean untuk bersihin satu rumah sampe sudut-sudut plus cuci piring. Zaman sekarang ini mau berumah tangga itu serba dimudahkan.  

Undeniable Bills

Disini saya mengerti kenapa banyak teman-teman saya yang tetap memutuskan untuk tinggal bersama orangtua atau mertua setelah menikah. Tinggal bersama orangtua memang pilihan yang sangat hemat secara finansial. Ketika kamu memutuskan untuk hidup mandiri, pembengkakan biaya nggak hanya datang dari cicilan rumah atau sewa kontrakan. It’s far beyond that.

Mau mengawali hidup mandiri, tentu saja harus beli furniture dan elektronik. Kalau ada warisan perabot, bisa lumayan menghemat banget. Tapi berhubung saya sama suami sama-sama arsitek, jadi buat kami tema perabot rumah harus terkonsep walaupun sederhana (ribet ya). Walaupun bikin tabungan terkuras, tapi kita semangat belanja furniture, apalagi rumah kami dekat IKEA hahahahaha. We’ve made a lot of impromptu trips to IKEA and ended up buying salad spinner or toilet brush.

Selain perabotan, kalau tinggal di komplek ada namanya iuran bulanan. Jangan lupa ada listrik dan juga kebutuhan domestic rumah tangga seperti deterjen, aqua, gas, internet, bahan makanan, belum lagi kalau ada yang perlu di service. Itu kalau di total nggak kecil lho biayanya, sampai jutaan rupiah, dan kamu nggak perlu mengeluarkan ini semua kalau tinggal sama orangtua. Silahkan pilih untuk masuk tabungan atau untuk jajan cantik keliling Jakarta Selatan.

Kuncinya sih tetap perencanaan keuangan yang baik. Kebetulan saya dan suami adalah tipe yang awam finansial, maksudnya ya perencanaan keuangan kami intinya menabung atau cari uang lebih banyak, dan mengadopsi gaya hidup yang semampunya. Kami juga bukan orang yang suka menyicil dengan credit card untuk barang remeh temeh, bahkan waktu menikah pun sama sekali nggak ada yang punya CC. Hingga detik ini pun Alhamdulillah kami tidak sedang nyicil apapun (dan semoga seterusnya dimudahkan Allah SWT untuk nggak perlu nyicil). Sewaktu mengisi rumah, dananya sudah kami siapkan jauh-jauh hari. Mengisi rumah pun jadi kenangan yang menyenangkan.


The Benefits

Kalau memang ribet, terus kenapa tetap milih untuk hidup mandiri ?
Keuntungan hidup mandiri yang paling terasa untuk aku sih, kebebasan. Apalagi untuk aku yang seumur hidup nggak merasakan jadi anak kos. Bebas diskusi apapun sama suami di ruang manapun. Bebas menentukan perabot dan dekorasi rumah. Bebas menentukan hari itu menyajikan makan apa. Bebas menentukan kapan rumah dibiarkan berantakan dan kapan mulai kerja bakti. Bebas tiduran di kamar seharian kalau weekend tanpa rasa bersalah. Bebas menyalakan diffuser wangi apapun di ruang tamu. As simple as that. Hal-hal kecil seperti itu membawa kebahagiaan untuk saya. Bagi saya, kebebasan ini priceless.

Keuntungan lainnya adalah, beradaptasi lebih awal. Kami berdua sudah mulai merasakan kagetnya mengurus rumah tangga dari awal pernikahan sewaktu masih berdua aja. Kami lebih fleksibel dan santai dalam mencari ritme kegiatan berumah tangga yang pas, juga dalam mencari style rencana finansial yang sesuai. Andaikan saya mulai hidup mandiri ketika sudah punya anak-anak kecil, mungkin jauh akan lebih kewalahan. Paling tidak, setahun pernikahan sudah mulai nyicil mengumpulkan ilmu dan life hacks yang memudahkan dalam mengurus rumah. Ritmenya pun sudah mulai ketemu walaupun nanti kalau sudah ada bayi pasti akan berubah lagi.

Kira-kira begitu. Semoga kalian yang belum menikah dan merencanakan menikah, atau akan merencanakan hidup mandiri bisa mempertimbangkan lebih baik lagi pilihannya. Intinya, kalau mau hidup mandiri, nggak boleh males ! Karena akan perlu banyak effort dan tenaga, kecuali kalau kamu mau mengeluarkan biaya lebih untuk jasa full-time ART. But above all, tinggal berdua dari awal menikah itu menyenangkannya tidak terganti. Banyak pelajaran, bonding dan mengenal pasangan pun bisa lebih leluasa.

Permisi. 







Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Anindya Fathia
Maira Gall