Senin, 08 Juli 2019

Kulatresna : Keindahan Tersembunyi di Bantul



Kulatresna. Kula artinya saya. Tresna artinya cinta.

Yogyakarta siang itu terik, namun lenggang. Kasongan sedang tidak ramai pembeli, karena hari itu hari kerja dan bukan juga musim liburan. Kenangan saya tentang Kasongan masih berupa daerah yang penuh dengan kerajinan gerabah, seperti ketika saya kesana belasan tahun lalu. Namun kini komoditas Kasongan mulai bervariasi. Toko-toko perabot baik yang bergaya etnik maupun modern berjajar cantik di pinggir jalan. Kualitas ekspor, sering ikut pameran, mereka bilang. Aksesoris rumah seperti macramé, kap lampu dan berbagai pot anyaman pun dijajakan dengan cantik di balik kaca kios. Tidak kalah dengan yang dijual di Seminyak. Bagi pecinta dekorasi rumah seperti saya, Kasongan ini secret paradise.

“Mas, nanti pulangnya mampir ya,” ujar saya antusias, seraya mobil kami melewati jalanan tersebut, menuju Desa Wisata Krebet. Kami baru menikah dua minggu, dan ini hari pertama bulan madu kami. Tadinya tentu saja kami berpikir ke Bali, seperti kebanyakan pasangan kelas menengah sebaya kami lainnya. Namun ternyata ada dua acara keluarga berjarak seminggu di Yogyakarta, kota kelahiran suami. Akhirnya kami memutuskan untuk berbulan madu sekalian disana. Lebih hemat juga, karena tidak perlu naik pesawat.

Sejak pertama kali melihat foto Kulatresna lewat Airbnb, saya langsung gelisah. Gelisah ingin segera booking tanggal karena takut penuh di hari yang kami inginkan. Vilanya hanya satu, terlalu cantik dan rimbun. Menurut saya rate permalamnya cukup reasonable untuk vila sebesar dan seindah itu. Sebagai perbandingan, kalau di Jakarta harga tersebut baru dapat suite hotel kelas menengah dengan sarapan nasi goreng hambar. Untungnya, kami berhasil menghubungi pemilik vila dan mendapatkan tanggal sesuai harapan. Dari awal mengontak pemilik vila, Mas Tiko demikian beliau disapa, sudah terlihat bahwa ia sangat memperhatikan kemudahan calon tamunya. Mas Tiko menanyakan apakah mau menambah makan malam, atau apakah kami perlu kendaraan. Berhubung kami membawa mobil sendiri dari Tangerang, dan kebetulan suami saya adalah warga asli Yogya, jadi kami bilang kami bisa kesana sendiri.

Desa Wisata Krebet, siang itu sunyi, namun hijau menyegarkan batin. Suasana desa yang menghanyutkan, yang membuat warga ibukota berangan untuk menghabiskan hari pensiun disini. Dari balik kesunyian, bertemulah kami dengan dinding bebatuan yang berdiri di pinggir jalan, berdampingan dengan pepohonan. Tidak ada papan nama yang mencolok, hanya dinding batu dan jalan yang sepi.



Kami disambut langsung oleh Mas Tiko. Pemilik, penggagas, dan beliau juga sering stand by di rumah belakang vila. Mas Tiko dibantu beberapa pekerja untuk mengurus vila Kulatresna, namun tidak jarang Mas Tiko sendiri yang memasak makanan yang disajikan untuk tamunya. Kamipun di bukakan pintu kamar.

Sebuah tempat tidur putih berkelambu diletakan tepat di tengah ruangan, dikelilingi empat kolom saka guru, langsung menghadap kepada akses visual kearah kebun di belakang. Pemandangan pepohonan memanjakan jiwa terhampar di arah jam dua belas tempat tidur. MasyaAllah. Setengah tidak percaya pada pandangan sendiri, ada tempat secantik ini di tengah Bantul. Di samping kiri tempat tidur ada meja makan kayu, di sebelah kanan ada sofa daybed berbentuk bundar.  Nuansa ruangan ini putih dengan sedikit sentuhan biru, dua warna yang sarat dengan ketenangan.





Kamar mandinya membuat jatuh cinta. Menurut saya, desain kamar mandi ini kreatif dan jenius. Pancuran airnya bersandar pada sebuah pohon di tengah ruangan. Bayangkan, ada pohon di tengah kamar mandi. Bagian ruang bathtub tidak beratap, hanya teduh oleh dedaunan yang menjalar, dikelilingi dinding bebatuan. Sudahlah, keindahan ruangan ini tidak bisa diwakilkan oleh aksara. Terlalu indah, saya bagi saja fotonya.

 




Makan malam kami hari itu adalah olahan tangan Mas Tiko sendiri. Di vila ini Mas Tiko hanya menyajikan sajian vegan, bahkan seringkali diolah tanpa harus dimasak, atau bahasa populernya, raw food. Mas Tiko seorang lulusan sekolah kuliner di Singapura, dan aslinya dari Jakarta Selatan. Bahan panganan lokal di tangannya bisa menjadi sajian kreatif pemanja indera perasa.

Menu kami malam itu burger vegan, kalau tidak salah isinya terbuat dari kacang hitam dipadu dengan biji-bijian lainnya. Rasanya tidak kalah dengan wagyu burger. Nikmat tanpa diakhiri rasa bersalah telah menambah asupan lemak hewani. Untuk pencuci mulut, Mas Tiko membuatkan kami raw vegan brownies. Terbuat dari coklat, minyak kelapa dan kacang mede. Pekat, harum aroma kelapa, tidak terlalu manis dan tentu saja lezat. Kalau untuk saya rasanya seperti gabungan chocolate ganache dan wingko babat. Untungnya Mas Tiko membuatkan kami satu mangkuk besar jadi kami punya sisa untuk cemilan bersantai besok.



Menikmati pagi di Kulatresna rasanya tidak ingin kemana-mana. Hanya ingin merebahkan diri di teras belakang villa, membaca dan memandangi kebun. Tidak ada batasan antara vila dan kebun, petani bisa lewat langsung depan teras vila, menyapa langsung kepada kita. Posisi vila ini lebih tinggi daripada kebun, sehingga cakupan visual kepada lingkungan sekitar lebih luas.



Walaupun terlalu nyaman di kamar, saya dan suami berniat mengunjungi curug yang ada di dekat vila. Curug Pulosari namanya. Berbekal kamera, handuk dan sandal jepit, kami pun berjalan kaki. Tidak ada mobil lewat, motor pun jarang. Hanya sesekali ada warga sekitar yang juga berjalan kaki. Coba saja disapa, nanti dapat hadiah senyum hangat khas penduduk Yogyakarta. Sepi, damai. Namun, saya pikir perjalanan singkat ini bisa bergandengan romantis, melewati desa dan berbincang ringan. Ternyata medannya cukup menantang. Menaiki dan menuruni medan berupa batu licin dan tanah basah. Walaupun begitu, total perjalanan hanya makan lima belas menit. And it was all worth it.



Seindah ini, hanya ada kami berdua. Biru. Hanya saja tidak ada diantara kami yang berani berenang karena tidak tahu kedalaman airnya. Hanya bermain di air dangkal dan duduk-duduk di atas bebatuan, mendengarkan suara air terjun. Menurut kami itu cukup untuk pagi yang ringan.

Sepulang dari vila, kami memutuskan untuk bersantai sampai siang. Hanya bersantai, tidak usah memikirkan pekerjaan kantor yang ditinggal, menikmati hidup saja. Mas Tiko membawakan kami sarapan. Kwetiauw lezat, dengan kerupuk buah naga. Jangan bayangkan kerupuk ini manis seperti buahnya, rasanya seperti kerupuk goreng lainnya, hanya saja warnanya sedikit ungu. Karena suka, sisa kerupuk yang belum digoreng saya beli untuk dibawa pulang. 



Sembari menemani kami sarapan, Mas Tiko banyak bercerita. Mas Tiko membuat vila ini bertujuan untuk menyokong keberlanjutan kebun di sekeliling Kulatresna, supaya tetap bisa menghasilkan bahan pangan dan memperkaryakan para petani yang merupakan warga asli sekitar. Luas tanahnya sekitar 916 Mdan ditanami puluhan spesies tanaman seperti kacang tanah, kelor, kacang hijau, wijen dan singkong. Jadi vila cantik ini dibangun dengan berlandaskan tujuan sosial. Semakin kagum rasanya.


Setahun berlalu semenjak kami merasakan singgah di Kulatresna. Saya tetap mengikuti perkembangan Kulatresna dan perjalanan Mas Tiko dan timnya lewat Instagram. Kalau tidak salah mereka sedang membangun service quarter bergaya British colonial berpadu dengan arsitektur Jawa, yang materialnya diambil dari material-material bekas atau sisa.

Saya dan suami berjanji, suatu hari akan kembali lagi.


Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Anindya Fathia
Maira Gall